Minggu, 27 Februari 2011

Dialog Bahasa Jawa dan Inggris

DIALOG BAHASA JAWA DAN INGGRIS

Javanese Ngoko: Piye Kabare?
Javanese Kromo: Panjenengan Pripun Warto'e?
Indonesian/Malay: Apa kabar? or Bagaimana kabar anda?
English: How are you? or How have you been?. Javanese Ngoko: Aku Apik Wae, Piye Karo Kowe/Sampeyan?
Javanese Kromo: Kulo Sae Mawon, Pripun Kalih Panjenengan?
Indonesian/Malay: Aku baik-baik saja, bagaimana dengan anda?
English: I am fine, how about you?. Javanese Ngoko: Sopo Jenenge Kowe?
Javanese Kromo: Panjenengan Sinten Namine?
Indonesian/Malay: Siapa nama anda?
English: What is your name. Javanese Ngoko: Jenengku John
Javanese Kromo: Nami Kulo John
Indonesian/Malay: Nama saya John
English: My name is John. Javanese Ngoko: Suwun/Matur Suwun
Javanese Kromo: Hatur Nuwun/Matur Nuwun
Indonesian/Malay: Terima kasih
English: Thank you. Javanese Ngoko: Kowe Arep Ngombe Opo?
Javanese Kromo: Panjenengan Ajeng Ngunjuk Menopo?
Indonesian/Malay: Anda mau minum apa?
English: What do you want to drink?. Javanese Ngoko: Kopi Wae, Mas/Pak!
Javanese Kromo: Kulo Ajeng Ngunjuk Kopi Mawon, Pak!
Indonesian/Malay: Saya ingin minum segelas kopi, Pak!
English: I want to drink a glass of coffe, Sir!. Javanese Ngoko: Aku Tresno Karo Kowe, Ndhok!
Javanese Kromo: Kulo Asmoro Kagem Sampeyan, Dhek!
Indonesian/Malay: Aku jatuh cinta padamu, dik!
English: I am falling in love with you, lady!. Javanese: Witing Tresno Jalaran Soko Kulino (proverb)
Indonesian/Malay: Cinta datang karena terbiasa
English: Love comes from the habitual.

Dialog Bahasa Jawa dan Inggris

DIALOG BAHASA JAWA DAN INGGRIS

Javanese Ngoko: Piye Kabare?
Javanese Kromo: Panjenengan Pripun Warto'e?
Indonesian/Malay: Apa kabar? or Bagaimana kabar anda?
English: How are you? or How have you been?. Javanese Ngoko: Aku Apik Wae, Piye Karo Kowe/Sampeyan?
Javanese Kromo: Kulo Sae Mawon, Pripun Kalih Panjenengan?
Indonesian/Malay: Aku baik-baik saja, bagaimana dengan anda?
English: I am fine, how about you?. Javanese Ngoko: Sopo Jenenge Kowe?
Javanese Kromo: Panjenengan Sinten Namine?
Indonesian/Malay: Siapa nama anda?
English: What is your name. Javanese Ngoko: Jenengku John
Javanese Kromo: Nami Kulo John
Indonesian/Malay: Nama saya John
English: My name is John. Javanese Ngoko: Suwun/Matur Suwun
Javanese Kromo: Hatur Nuwun/Matur Nuwun
Indonesian/Malay: Terima kasih
English: Thank you. Javanese Ngoko: Kowe Arep Ngombe Opo?
Javanese Kromo: Panjenengan Ajeng Ngunjuk Menopo?
Indonesian/Malay: Anda mau minum apa?
English: What do you want to drink?. Javanese Ngoko: Kopi Wae, Mas/Pak!
Javanese Kromo: Kulo Ajeng Ngunjuk Kopi Mawon, Pak!
Indonesian/Malay: Saya ingin minum segelas kopi, Pak!
English: I want to drink a glass of coffe, Sir!. Javanese Ngoko: Aku Tresno Karo Kowe, Ndhok!
Javanese Kromo: Kulo Asmoro Kagem Sampeyan, Dhek!
Indonesian/Malay: Aku jatuh cinta padamu, dik!
English: I am falling in love with you, lady!. Javanese: Witing Tresno Jalaran Soko Kulino (proverb)
Indonesian/Malay: Cinta datang karena terbiasa
English: Love comes from the habitual.

Dialog Bahasa Jawa dan Inggris

DIALOG BAHASA JAWA DAN INGGRIS

Javanese Ngoko: Piye Kabare?
Javanese Kromo: Panjenengan Pripun Warto'e?
Indonesian/Malay: Apa kabar? or Bagaimana kabar anda?
English: How are you? or How have you been?. Javanese Ngoko: Aku Apik Wae, Piye Karo Kowe/Sampeyan?
Javanese Kromo: Kulo Sae Mawon, Pripun Kalih Panjenengan?
Indonesian/Malay: Aku baik-baik saja, bagaimana dengan anda?
English: I am fine, how about you?. Javanese Ngoko: Sopo Jenenge Kowe?
Javanese Kromo: Panjenengan Sinten Namine?
Indonesian/Malay: Siapa nama anda?
English: What is your name. Javanese Ngoko: Jenengku John
Javanese Kromo: Nami Kulo John
Indonesian/Malay: Nama saya John
English: My name is John. Javanese Ngoko: Suwun/Matur Suwun
Javanese Kromo: Hatur Nuwun/Matur Nuwun
Indonesian/Malay: Terima kasih
English: Thank you. Javanese Ngoko: Kowe Arep Ngombe Opo?
Javanese Kromo: Panjenengan Ajeng Ngunjuk Menopo?
Indonesian/Malay: Anda mau minum apa?
English: What do you want to drink?. Javanese Ngoko: Kopi Wae, Mas/Pak!
Javanese Kromo: Kulo Ajeng Ngunjuk Kopi Mawon, Pak!
Indonesian/Malay: Saya ingin minum segelas kopi, Pak!
English: I want to drink a glass of coffe, Sir!. Javanese Ngoko: Aku Tresno Karo Kowe, Ndhok!
Javanese Kromo: Kulo Asmoro Kagem Sampeyan, Dhek!
Indonesian/Malay: Aku jatuh cinta padamu, dik!
English: I am falling in love with you, lady!. Javanese: Witing Tresno Jalaran Soko Kulino (proverb)
Indonesian/Malay: Cinta datang karena terbiasa
English: Love comes from the habitual.

Rabu, 09 Februari 2011

Ronggeng Dukuh Paruk

Ronggeng Dukuh Paruk

Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya
melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratusratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan
lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk
telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan
genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang
kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau
di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik.
Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.
Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan
nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang
ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar
ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan.
Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.
Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu
bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit
baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk. Layanglayang
yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat
kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.
Udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis biji-bijian. Buah randu telah
menghitam kulitnya, pecah menjadi tiga juring. Bersama tiupan angin terburai
gumpalan-gumpalan kapuk. Setiap gumpal kapuk mengandung biji masak yang siap
tumbuh pada tempat ia hinggap di bumi. Demikian kearifan alam mengatur agar
pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya.
Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya. Biji dadap
yang telah tua menggunakan kulit polongnya untuk terbang sebagai baling-baling. Bila
angin berembus, tampak seperti ratusan kupu terbang menuruti arah angin
meninggalkan pohon dadap. Kalau tidak terganggu oleh anak-anak Dukuh Paruk, biji
dadap itu akan tumbuh di tempat yang jauh dari induknya. Begitu perintah alam.
Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai
sebuah gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman
terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua
kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang
menciptakan kehidupannya sendiri.
Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan.
Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang
bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan
riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan
darah dagingnya.
Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak
menemukan akal. “Cari sebatang cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. “Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.”
“Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta.
“Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini.
Pasti nanti kita mudah mencabutnya.”
“Air?” ejek Darsun, anak yang ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?”
“Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai
pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.”
Tiga ujung kulup terarah pada titik yang sama. Currrr. Kemudian Rasus, Warta dan
Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan
tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali.
Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan
hentakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah
merekah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk.
Tetapi sorak-sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi-umbinya yang hanya
sebesar jari tercabut.
Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus
berhenti di sini. Rasus, Warta dan Darsun kini harus saling adu tenaga
memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut. Rasus dan Warta mendapat
dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi
bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah.
Sengaknya kencing sendiri.
Sambil membersihkan mulutnya dengan punggung lengan, Rasus mengajak kedua
temannya melihat kambing-kambing yang sedang mereka gembalakan. Yakin bahwa
binatang gembalaan mereka tidak merusak tanaman orang, ketiganya berjalan ke
sebuah tempat di mana mereka sering bermain. Di bawah pohon nangka itu mereka
melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkan daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota.
Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang.
Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang
kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanakTrilogi
kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot
timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.
Lagu erotik. Srintil, perawan yang baru sebelas tahun, menyanyikannya dengan
sungguh-sungguh. Boleh jadi Srintil belum faham benar makna lirik lagu itu. Namun
sama saja. Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil menyanyikan
lagu yang paling cabul sekalipun.
Betapa asyik Srintil dengan dendangnya, terbukti dia tidak menyadari ada tiga anak
laki-laki sudah berdiri di belakangnya. Srintil baru sadar ketika sedang mencoba
memasang mahkota daun nangka ke atas kepalanya.
“Terlalu besar,” ujar Rasus mengejutkan Srintil. Perawan kecil itu mengangkat muka.
“Aku bersedia membuatkan badongan untukmu,” sambung Rasus menawarkan jasa.
“Tak usah. Kalau mau, ambilkan aku daun bacang. Nanti badongan ini lebih baik,”
jawab Srintil.
Rasus tersenyum. Baginya, memenuhi permintaan Srintil selalu menyenangkan. Maka
dia berbalik, menoleh kiri-kanan mencari sebatang pohon bacang. Setelah didapat,
Rasus memanjat. Cepat seperti seekor monyet. Dipetiknya beberapa lembar daun
bacang yang lebar. Pikir Rasus, dengan daun itu mahkota di kepala Srintil akan
bertambah manis.
Dengan bantuan ketiga anak laki-laki itu Srintil dapat menyelesaikan mahkota
daunnya. Ukurannya tepat.
“Bagus sekali,” kata Rasus setelah melihat badongan daun nangka itu menghias kepala
Srintil.
“Sungguh?” balas Srintil meyakinkan.
“Aku tidak bohong. Bukankah begitu, Warta? Darsun?”
“Ya, benar. Engkau cantik sekali sekarang,” ujar Warta.
“Seperti seorang ronggeng?” tanya Srintil lagi. Gayanya manja.
“Betul.”
“Ah, tidak,” potong Darsun. “Kecuali engkau mau menari seperti ronggeng.”
Srintil diam. Dipandangnya ketiga anak laki-laki di hadapannya. Dalam hati Srintil
merasa penasaran. Apakah kalian menyangka aku tak bisa menari seperti seorang
ronggeng? tanya Srintil.
“Baik, aku akan menari. Kalian harus mengiringi tarianku. Bagaimana?” tantang Srintil.
“Wah, jadi kalau begitu,” jawab Rasus cepat. “Aku akan menirukan bunyi gendang.
Warta menirukan calung dan Darsun menirukan gong tiup. Hayo!”
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup
dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. Ketika sinar
matahari mulai meredup di langit barat. Srintil menari dan bertembang. Gendang,
gong dan calung mulut mengiringinya. Rasus bersila, menepak-nepak lutut menirukan
gaya seorang penggendang. Warta mengayunkan tangan ke kiri-kanan, seakan ada
perangkat calung di hadapannya. Darsun membusungkan kedua pipinya. Suaranya
berat menirukan bunyi gong.
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan
bertembang. Siapa yang akan percaya belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas
ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di
depan Rasus, Warta dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya.
Mimik penagih birahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya,
juga diperbuat oleh Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara
Srintil menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa manapun yang
melihatnya. Seorang gadis kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan
baiknya gaya seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak bakal heran.
Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil
pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng
kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah semacam wangsit yang
dimuliakan di dunia peronggengan.
Demikian, sore itu Srintil menari dengan mata setengah tertutup, jari tangannya
melentik kenes. Ketiga anak laki-laki yang mengiringinya menyaksikan betapa Srintil
telah mampu menyanyikan banyak lagu-lagu ronggeng.
Mulut Rasus dan kedua temannya pegal sudah. Namun terus melenggang dan
melenggok. Alunan tembangnya terus mengalir seperti pancuran di musim hujan.
Betapapun, akhirnya Srintil berhenti karena mulut ketiga pengiringnya bungkam. Tidak
tampak tanda Srintil lelah. Bahkan kepada ketiga kawannya, Srintil masih menuntut.
“Wah, lagi, ya!” desaknya.
“Mengaso dulu. Mulutku pegal,” jawab Rasus.
“Ya, kita berhenti dulu. Kita hanya akan bermain lagi kalau Srintil berjanji akan
memberi kami upah,” kata Warta.
“Baik, baik. Kalian minta upah apa?”
Warta diam. Rasus tersenyum sambil memandang Darsun.
“Kalian minta upah apa?” ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah
Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium di pipi. Warta dan
Darsun masing-masing mendapat giliran kemudian. Sebelum ketiga anak laki-laki itu
sempat berbuat sesuatu, Srintil menagih janji.
“Nah. Kalian telah menerima upah. Sekarang aku menari. Kalian harus mengiringi
lagi.”-
Ketiganya patuh. Ceria di bawah pohon nangka itu berlanjut sampai matahari
menyentuh garis cakrawala. Sesungguhnya Srintil belum hendak berhenti menari.
Namun Rasus berkeberatan karena ia harus menggiring tiga ekor kambingnya pulang
ke kandang. Pada akhir permainan, Rasus, Warta dan Darsun minta upah. Kali ini
mereka yang berebut menciumi pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana
laiknya seorang ronggeng. Sebelum berlari pulang, Srintil minta jaminan besok hari
Rasus dan dua temannya akan bersedia kembali bermain bersama.
Karena letak Dukuh Paruk di tengah amparan sawah yang sangat luas, tenggelamnya
matahari tampak dengan jelas dari sana. Angin bertiup ringan. Namun cukup
meluruhkan dedaunan dari tangkainya. Gumpalan rumput kering menggelinding dan
berhenti karena terhalang pematang.
Hilangnya cahaya matahari telah dinanti oleh kelelawar dan kalong. Satu-satu mereka keluar dari sarang, di lubang-lubang kayu, ketiak daun kelapa atau kuncup daun
pisang yang masih menggulung. Kemarau tidak disukai oleh bangsa binatang
mengirap itu. Buah-buahan tidak mereka temukan. Serangga pun seperti lenyap dari
udara. Pada saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar kehidupan
jenisnya lestari.
Pelita-pelita kecil dinyalakan. Kelap-kelip di kejauhan membuktikan di Dukuh Paruk
yang sunyi ada kehidupan manusia. Bulan yang lonjong hampir mencapai puncak
langit. Cahayanya membuat bayangan temaram di atas tanah kapur Dukuh Paruk.
Kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan. Langit bening. Udara kemarau makin
malam makin dingin.
Pagelaran alam yang ramah bagi anak-anak. Halaman yang kering sangat
menyenangkan untuk arena bermain. Cahaya bulan mencipta keakraban antara
manusia dengan lingkup fitriyahnya. Anak-anak, makhluk kecil yang masih lugu, layak
hadir di halaman yang berhias cahaya bulan. Mereka pantas berkejaran, bermain dan
bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya
sekali datang.
Tidak, tidak. Awal malam yang ceria itu tidak berbias lengking anak-anak Dukuh
Paruk. Kemarau terlampau panjang tahun ini. Dua bulan terakhir tiada lagi padi
tersimpan di rumah orang Dukuh Paruk. Mereka makan gaplek. Anak-anak makan nasi
gaplek. Karbohidrat yang terkandung dalam singkong kering itu banyak rusak. Anakanak
tidak berbekal cukup kalori untuk bermain siang malam.
Jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk keluar halaman. Setelah
menghabiskan sepiring nasi gaplek mereka lebih senang bergulung dalam kain sarung,
tidur di atas balai-balai bambu. Mereka akan bangun besok pagi bila sinar matahari
menerobos celah dinding dan menyengat kulit mereka.
Orang-orang dewasa telah bekerja keras di siang hari. Tanaman musim kemarau
berupa sayuran, tembakau dan palawija harus disiram dengan air sumur yang khusus
mereka gali. Bila malam tiba, keinginan mereka tidak berlebihan; duduk beristirahat
sambil menggulung tembakau dengan daun pisang atau kulit jagung kering. Sedikit
tengah malam mereka akan naik tidur. Pada saat kemarau panjang seperti itu
mustahil ada perempuan Dukuh Paruk hamil.
Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di bawah
lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan terpencil itu masih
merenungi ulah cucunya sore tadi. Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak-gerik
Srintil ketika cucunya itu menari di bawah pohon nangka. Sedikit pun Sakarya tidak
ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng.
Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan
hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. “Dukuh
Paruk tanpa ronggeng, bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan
mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri.
Sakarya percaya, arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu
ada ronggeng di Dukuh Paruk.
Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di
sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah-serapah dan ada
ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi
oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “Jangan mengabadikan
kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau, “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau
tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis seperti anak-anak Dukuh
Paruk!”
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara
turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat
kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon
ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di
para-para di atas dapur. Dengan laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu
berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.
“Kalau benar tuturmu, Kang, kita akan tetap betah tinggal di pedukuhan ini,” kata
Kartareja menanggapi laporan Sakarya.
“Eh, sampean lihat sendiri nanti,” jawab Sakarya. “Srintil akan langsung menari
dengan kenesnya bila mendengar suara calungmu.”
Kartareja mengangguk-angguk. Bibirnya yang merah kehitaman oleh kapur sirih
bergoyang ke kiri-kanan. Lalu disemprotkannya sisa tembakau yang tertinggal di
mulutnya.
“Ah, Kang Sakarya. Aku tak lagi diperlukan kalau begitu. Bukankah Srintil sudah
menjadi ronggeng sejak lahir?” kata Kartareja tawar. Dia sedikit tersinggung.
Keahliannya mengasuh ronggeng merasa disepelekan.
“Eh, sampean salah tangkap. Maksudku, Srintil benar-benar telah mendapat indang.
Masakan sampean tidak menangkap maksudku ini.”-
“Oh, begitu.”
“Ya. Dan tentu sampean perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum
pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting; masalah 'rangkap' tentu saja.
Itu urusanmu, bukan?”
Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa. “Rangkap” yang
dimaksud oleh Sakarya tentulah soal guna-guna, pekasih, susuk dan tetek-bengek
lainnya yang akan membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli
dalam urusan ini.
“Pokoknya Dukuh Paruk akan kembali mempunyai ronggeng. Bukankah begitu, Kang?”
“Eh, ya. Memang begitu. Kita yang tua-tua di pedukuhan ini tak ingin mati sebelum
melihat Dukuh Paruk kembali seperti aslinya dulu. Bahkan aku takut arwah Ki
Secamenggala akan menolakku di kubur bila aku tidak melestarikan ronggeng di
pedukuhan ini.”
“Bukan hanya itu, Kang. Bukankah ronggeng bisa membuat kita betah hidup.
Kedua kakek itu tertawa bersama. Di antara gelaknya Sakarya mengeluh mengapa dia
tidak bisa mengundurkan usianya dari tujuh puluh menjadi dua puluh tahun.
Beberapa hari kemudian Sakarya dan Kartareja selalu mengintip Srintil menari di
bawah pohon nangka. Kedua laki-laki tua itu sengaja membiarkan Srintil menari
sepuas hatinya diiringi calung mulut oleh Rasus dan kedua kawannya. Kartareja
percaya akan ceritera Sakarya. Srintil telah kemasukan indang ronggeng.
Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya, Sakarya kepada Kartareja. Itu hukum
Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng. Keluarga calon harus
menyerahkannya kepada dukun ronggeng, menjadi anak akuan.
Dua belas tahun sejak kematian ronggeng Dukuh Paruk yang terakhir. Selama itu
Dukuh Paruk tanpa suara calung. Perangkat gamelan bambu itu telah tertutup lapisan
debu campur jelaga di para-para dapur keluarga Kartareja. Tali ijuk yang merenteng
tiap mata calung telah putus oleh gigitan tikus atau ngengat.
Untung.
Serangga bubuk dan anai-anai tak merapuhkan gamelan bambu itu. Untung pula, Kyai
Comblang, gendang pusaka milik keluarga Kartareja tetap disimpan dengan perawatan
istimewa. Perkakas itu siap pakai meski telah istirahat dalam waktu lama.
Kesulitan pertama yang dihadapi Kartareja bukan masalah bagaimana memperbaiki
alat musiknya, melainkan bagaimana dia mendapat para penabuh. Penabuh gendang
yang disayanginya meninggal pada malapetaka paceklik dua tahun lalu. Seorang lagi
yang biasa melayani calung penerus, lenyap entah ke mana. Tetapi bagaimanapun
Kartareja beruntung. Dia berhasil menemukan kembali Sakum, laki-laki dengan
sepasang mata keropos namun punya keahlian istimewa dalam memukul calung besar.
Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secara seksama pagelaran ronggeng.
Seperti seorang awas, Sakum dapat mengeluarkan seruan cabul tepat pada saat
ronggeng menggerakkan pinggul ke depan dan ke belakang. Pada detik ronggeng
membuat gerak birahi, mulut Sakum meruncing, lalu keluar suaranya yang terkenal;
Cessss! Orang mengatakan, tanpa Sakum setiap pentas ronggeng tawar rasanya.
Kemarau masih mengulur waktu. Kartareja menemukan hari dan malam cerah buat
mulai mengasuh Srintil.
Senja yang telah ditunggu semua warga Dukuh Paruk. Kartareja menyuruh orang
membersihkan halamannya. Empat helai tikar pandan digelar di tengah tanah kering
berpasir itu. Setelah hari gelap, sebuah lampu minyak besar dinyalakan. Terang, sebab
pada sumbu-lampu minyak itu dipasang sebuah cincin penerang. Suasana demikian
mengundang anak-anak. Mereka bergerombol memperhatikan orang-orang bekerja.
Semuanya telah tahu, malam itu Srintil akan menari.
Di dalam rumah, Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil dan masih
lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya kuning. Di pinggang kiri kanan ada
sampur berwarna merah saga. Srintil didandani seperti laiknya seorang ronggeng
dewasa. Kulitnya terang karena Nyai Kartareja telah melumurinya dengan tepung
bercampur air kunyit. Istri dukun ronggeng itu juga telah menyuruh Srintil mengunyah
sirih. Bibir yang masih sangat muda itu merah.
Banyak perempuan dan anak-anak memenuhi rumah Kartareja. Mereka ingin melihat
Srintil dirias. Sepanjang usianya yang sebelas tahun, baru pertama kali Srintil menjadi
perhatian orang. Dia tersipu. Terkadang tertawa kecil bila dia mendengar orang
berbisik memuji kecantikannya. Mulutnya mungil. Cambang tipis di pipinya menjadi
nyata setelah Srintil dibedaki. Alis yang diperjelas dengan jelaga bercampur getah
pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka.
Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika dia
meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk
dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari yang sebenarnya;
uluk-uluk perkutut manggung
teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon,
ora manis kaya putuku, Srintil.
Konon bukan hanya itu.
Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil.
Orang-orang yang sudah berkumpul hendak melihat Srintil menari mulai gelisah.
Mereka sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak
melihat pagelaran ronggeng. Maka bukan main senang hati mereka ketika mendengar
Kartareja bersuara; pertunjukan akan dimulai.
Lingkaran yang terdiri atas warga Dukuh Paruk segera terbentuk. Tiga penabuh duduk
bersila menghadapi perangkat pengiring; sebuah gendang, dua calung dan sebuah
gong tiup yang terbuat dari seruas bambu besar. Sehelai tikar tersedia bagi tempat
Srintil menari. Sakum yang menghadapi calung besar cepat menjadi perhatian orang.
Tampaknya dia tidak mengutuk matanya yang buta. Sakum hanya tersenyum. Cengarcengir.
Kedua tangannya memegang pemukul calung, siap menunggu aba-aba
gendang.
Ketika Srintil muncul dituntun Nyai Kartareja, semua mata terarah kepadanya. Rasus
yang berdiri di lapisan penonton paling depan ternganga. Dia tak percaya dirinya telah
mencium Srintil beberapa hari yang lalu. Srintil didudukkan di tengah tikar. Tidak
bergerak, bahkan dia tidak menggulirkan bola matanya. Kartareja muncul dengan
pedupaan yang dibawanya berkeliling arena. Tungku kecil yang mengepulkan asap
kemenyan itu kemudian diletakannya dekat gendang.
Hening.
Tanggapan hanya berupa bisik-bisik lirih. Seorang perempuan menggamit lengan
teman di sebelahnya, memuji kecantikan Srintil. Rasus Warta dan Darsun memandang
boneka di tengah tikar itu tanpa kedipan mata. Srintil, yang sering menari di bawah
pohon nangka kini tampil di tengah pentas.
Kepada tukang gendang, Kartareja memberi isyarat. Detik berikutnya bergemalah
irama calung yang dikembari tepuk tangan hampir semua warga Dukuh Paruk. Sakum
mulai bertingkah. Dengan lenggang-lenggok jenaka ia memainkan calungnya. SatuTrilogi
dua seruan cabul mulai meluncur dari mulutnya. Setiap kali berseru, Sakum mendapat
tepuk tangan yang riuh.
Penonton menunda kedipan mata ketika Srintil bangkit. Hanya dituntun oleh nalurinya,
Srintil mulai menari. Matanya setengah terpejam. Sakarya yang berdiri di samping
Kartareja memperhatikan ulah cucunya dengan seksama. Dia ingin membuktikan katakatanya,
bahwa dalam tubuh Srintil telah bersemayam indang ronggeng. Dan
Kartareja, sang dukun ronggeng mendapat kenyataan seperti itu.
Ketika Srintil menyanyikan lagu yang sulit-sulit, yang pasti dia belum pernah
mempelajarinya, bulatlah hati Kartareja. Dia harus percaya bahwa Srintil mendapat
indang. Kartareja percaya penuh, Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki
Secamenegala dengan tugas menjadi ronggeng. Penampilan Srintil yang pertama,
membuat Kartareja mengangguk dan mengangguk. “Sakarya tidak berlebihan dengan
kata-katanya beberapa hari yang lalu,” pikir Kartareja.
Selama menari wajah Srintit dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak
orang terharu dan kagum melihat bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil
mampu melentikkan jari-jari tangan, sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh
seorang ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum lestari
kocak dan cabul. Suara “cesss” tak pernah luput pada saat Srintil menggoyang
pinggul.
Satu babak telah usai. Calung berhenti, dan Srintil kembali duduk. Gumam penonton
terdengar. Seorang perempuan mengisak. Rasa harunya setelah melihat Srintil menari
menyebabkan air matanya menetes.
“Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. “Kalau boleh aku ingin
menggendongnya, membuainya sampai dia lelap di pangkuanku.”
“Yah, aku pun ingin mencuci pakaiannya. Aku akan memandikannya besok pagi,” kata
perempuan lainnya.
“Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin
memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku mau minta ijin kepada Nyai
Kartareja.”-
“Engkau mau apa?”
“Memijat Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”
“Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari perutku!” kata
perempuan lainnya lagi. Berkata demikian, perempuan itu mengusap matanya sendiri.
Kemudian membersihkan air mata yang menetes dari hidung.
Rasus yang sejak semula berdiri tak bergerak di tempatnya mendengar segala
pergunjingan itu. Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu merasa ada sesuatu yang
terlangkahi di hatinya. Ia merasa Srintil telah menjadi milik semua orang Dukuh Paruk.
Rasus cemas tidak bisa lagi bermain sepuasnya dengan Srintil di bawah pohon nangka.
Tetapi Rasus tak berkata apa pun. Dia tetap terpaku di tempatnya sampai pentas itu
berakhir hampir tengah malam.
Orang-orang Dukuh Paruk pulang ke rumah masing-masing. Mereka, baik lelaki
maupun perempuan, membawa kenangan yang dalam. Malam itu kenangan atas
Srintil meliputi semua orang Dukuh Paruk. Penampilan Srintil malam itu mengingatkan
kembali bencana yang menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu.
Srintil adalah seorang yatim piatu-sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak
anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu.
Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup
tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil itu lengang,
amat lengang.
Hanya tangis bayi dan lampu kecil berkelip menandakan pedukuhan itu berpenghuni.
Tak ada suara kecuali suara kodok. Bangsa reptil itu berpesta pora, bertunggangan
dan kawin. Besok pagi, hasil pesta mereka akan tampak. Kodok betina meninggalkan
untaian telur yang panjang. Katak hijau menghimpun telurnya dalam kelompok yang
terapung di permukaan air. Katak daun menyimpan telurnya pada gumpalan busa
yang melekat pada ranting semak-semak.
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengirangira
saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni
pedukuhan itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri
pekerjaannya malam ini. Bungkil ampas minyak kelapa yang telah ditumbuk halus
dibilas dalam air. Setelah dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini
diratakan dalam sebuah tampah besar dan ditaburi ragi bila sudah dingin. Besok hari
pada bungkil ampas minyak kelapa itu akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe
bongkrek. Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk akan
tempe itu.
Selesai dengan pekerjaan malam itu, Santayib berangkat tidur. Sepi. Dukuh Paruk
dengan semua penghuninya larut bersama malam yang dingin dan lembab. Srintil
yang masih bayi acap kali terjaga bila popoknya basah. Bila kainnya sudah diganti
Srintil lelap kembali di ketiak ibunya.
Tetes-tetes air yang tersisa di pucuk-pucuk daun jatuh ke bawah. Bunyi keletak-keletik
terdengar bila butir air itu menimpa daun pisang atau daun keladi. Seekor burung
celepuk hinggap tenang pada sebuah dahan yang rendah. Matanya yang awas
menatap ke permukaan air di kubangan. Bila melihat katak, burung malam itu
menukik tanpa suara, hinggap di dahan lagi dengan korban di mulutnya. Perburuan
baru akan berhenti bila tembolok burung celepuk itu telah penuh daging segar.
Pertanda telah kenyang, dia akan mengeluarkan suara berat: guk-guk-guk, hrrrrr.
Suara hantu. Suara yang membuat setiap anak yang mendengarnya segera mencari
selangkangan ibunya.
Sinar bulan tidak mampu menembus tirai awan. Di langit timur bulan hanya membuat
rona kuning. Kilat acap kali membuat benderang sesaat, meninggalkan garis kemilau
yang patah-patah. Gema guruh berkepanjangan. Hilang gaungnya, Dukuh Paruk
kembali didaulat suara bangsa kodok. Hujan yang kemudian turun kembali membuat
Dukuh Paruk semakin kecil dan beku.
Tak seorang pun di Dukuh Paruk tahu.
Segumpal cahaya kemerahan datang dari langit menuju Dukuh Paruk. Sampai di atas
pedukuhan cahaya itu pecah, menyebar ke segala arah. Seandainya ada manusia
Dukuh Paruk yang melihatnya, dia akan berteriak sekeras-kerasnya. “Antu tawa. Antu
tawa. Awas ada antu tawa! Tutup semua tempayan! Tutup semua makanan!”
Namun semua orang tetap tidur nyenyak. Cahaya alarm yang dipercaya sebagai
pembawa petaka datang tanpa seorang pun melawannya dengan tolak bala. Kecuali
kambing-kambing yang mengembik di kandang. Kecuali keributan kecil di kurungan
ayam. Dan burung hantu yang mendadak berbunyi bersahutan. Dari rimbun beringin
di atas makam Ki Secamenggala itu burung-burung hantu meneriakkan gema
berwibawa.
Beku dan kebisuan berjalan sampai fajar menjelang. Makin sering terdengar suara
tangis bayi. Juga embik kambing yang mulai lapar. Hujan yang tinggal rinai gerimis
menciptakan bianglala di timur. Hanya suara kodok yang sejak sore hari tetap ramai.
Kokok ayam dan cericit tikus busuk yang mencari sarangnya di balik batu-batu besar.
Meski Santayib orang yang paling akhir pergi tidur, namun dia pulalah yang pertama
kali terjaga di Dukuh Paruk. Disusul kemudian oleh istrinya. Srintil, bayi yang manis.
Dia biasa tergolek sendiri meskipun kedua orang tuanya mulai sibuk bekerja. Suamiistri
Santayib menyiapkan dagangannya; tempe bongkrek. Sebelum matahari terbit
akan datang para tetangga yang akan membeli bongkrek. Kecuali hari pasaran
Santayib hanya menjual dagangannya kepada para tetangga.
Hari mulai terang. Di halaman rumah Santayib seekor kodok melompat satu-dua
mencari tempatnya yang gelap di kolong balai-balai. Sekelompok lainnya masih
berenang dan kawin di kubangan. Kampret dan kalong berebut masuk ke sarangnya
kembali. Boleh jadi mereka masih lapar karena hujan mengacau perburuan mereka.
Namun binatang mengirap itu taat kepada alam. Atau mereka akan dikejar dan
dimangsa burung gagak bila pulang terlambat.
Beberapa anak telah turun dari balai-balai, lari ke depan pintu bambu dan kencing di
sana. Atau lari ke kakus terbuka di belakang rumah. Lalat berhamburan. Seekor
burung sikatan mencecet menyambar makanannya, lalat hijau. Sesekali burung kecil
yang gesit itu terbang menyambar agas yang berputar-putar di atas kepala si bocah.
Liang kumbang tahi ada di mana-mana di sekitar kakus. Serangga kotor ini
mempunyai cara yang aneh bila hendak membawa tinja ke liangnya. Ia berjalan
mundur sambil menolak bulatan kotoran manusia sebesar buah jarak dengan kaki-kaki
belakangnya. Alam yang bijaksana, telah mengajari bangsa kumbang tahi. Walaupun
ia berjalan mundur, lintasan jalannya akan berakhir persis di mulut liang. Di sana
gumpalan tinja itu ditolak ke dalam tanah. Di sana pula bangsa kumbang tahi menaruh
telur bagi kelangsungan hidup jenisnya.
Satu-dua orang telah datang membeli bongkrek. Istri Santayib melayani mereka.
Celoteh antar-perempuan terdengar akrab. Kemanisan pergaulan kampung yang lugu.
“Srintil belum bangun?”
“Belum,” jawab istri Santayib. “Srintil bayi yang tahu diri. Rupanya dia tahu aku harus
melayani sampean setiap pagi.”
“Ah, sungguh beruntung kalian mempunyai seorang bayi yang anteng.”
“Betul. Kalau tidak, wah, sungguh repot kami.”
“Bongkrekmu tidak dicampur dedak, bukan?”
“Oalah, tidak. Kemarin Kang Santayib mendapat bungkil yang baik. Kering dan harum.
Cobalah, bongkrekku manis sekali hari ini.”
“Syukur. Pagi ini kami seisi rumah makan nasi padi bengawan. Simpanan terakhir buat
benih kami tumbuk. Apa boleh buat, kami sudah sebulan makan nasi gaplek. Hari ini
kami menanak nasi.”-
“Wah. Sayur bongkrek campur toge dengan nasi padi bengawan. Hidangkan ketika
masih hangat. Boleh aku makan di rumahmu?” seloroh istri Santayib.
“Pasti boleh. Ayolah.”
“Terima kasih. Aku hanya berolok-olok.”
Dukuh Paruk mulai hidup. Dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk. Bunyi minyak
panas di wajan yang dikenai adonan tepung pembungkus tempe bongkrek. Atau
gemerencing keliningan di leher anak kambing yang menyusu tetek induknya yang
merekah. Seekor induk ayam berkotek keras-keras karena burung elang menyambar
seekor anaknya. Anak-anak merengek minta makan. Seorang perempuan di dapur
menghardik anaknya yang tidak sabar menunggu nasi gaplek masak ditanak.
Bila anak-anak Dukuh Paruk sudah lari ke luar dan menyobek sehelai daun pisang,
berarti sarapan pagi telah siap. Hanya beberapa di antara mereka yang biasa
menggunakan piring. Mereka makan di emper rumah, di ambang pintu atau di mana
pun mereka suka. Semua makanan enak sebab perut anak-anak Dukuh Paruk tidak
pernah benar-benar kenyang.
Matahari naik. Panasnya mulai menyengat. Panas yang telah mengubah warna rambut
orang dan anak Dukuh Paruk menjadi merah. Kulit kehitaman bersisik. Dukuh Paruk
yang tadi malam basah kuyup kini terjerang. Panas dan lembab. Namun selamanya
Dukuh Paruk menurut pada alam. Orang-orang dewasa tetap bekeria di ladang atau
sawah. Anak-anak pergi dengan binatang gembalaannya. Hari itu tak terjadi kelainan
di pemukiman terpencil itu.
Namun semuanya berubah menjelang tengah hari.
Seorang anak berlari-lari dari sawah sambil memegangi perut. Di depan pintu
rumahnya dia muntah, terhuyung dan jatuh pingsan. Ibunya yang sudah mulai
merasakan sakit menyengat kepalanya, menjerit dan memanggil para tetangga.
Sebelum para tetangga datang, anak itu telah meregang nyawa. Bahkan ibunya pun
jatuh tak sadarkan diri dengan rona biru di wajahnya. Ibu dan anak terkulai di tanah.
Jerit dari rumah pertama memulai kepanikan di Dukuh Paruk.
Orang-orang yang bekerja di luar rumah bergegas pulang. Mereka mendengar suara
jerit minta tolong. Atau mereka sendiri mulai merasa dunia berputar-putar. Seorang
lelaki bahkan digendong oleh temannya karena dia tidak lagi mampu berjalan. Di
perkampungan, suara minta tolong terdengar dari setiap rumah. Pada akhirnya setiap
keluarga terlibat dalam hiruk-pikuknya sendiri, kengeriannya sendiri. Tolong-menolong
antar keluarga tak mungkin dilakukan. Bahkan sementara ibu harus melihat anak atau
suaminya menggeliat mempertahankan nyawa tanpa bisa berbuat apa pun karena
dirinya sendiri berada antara hidup dan mati.
Kebodohan memang pusaka khas Dukuh Paruk. Namun setidaknya orang-orang di
sana bisa berfikir mencari sebab malapateka hari itu. Tidak semua warga Dukuh Paruk
pusing, muntah lalu terkulai. Ada sementara mereka yang tetap segar. Dan mereka
adalah orang-orang yang tidak makan tempe bongkrek buatan Santayib.
Jadi.
Dalam haru-biru kepanikan itu kata-kata “wuru bongkrek” mulai diteriakkan orang.
Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah
mendengar teriakan demikian. Hatinya ingin dengan sengit membantahnya. Namun
nuraninya juga berbicara, “Santayib, bongkrekmu akan membunuh banyak orang di
Dukuh Paruk ini.”-
Pergulatan berkecamuk sendiri di hati ayah Srintil itu. Karena ketegangan jiwa, tubuh
Santayib gemetar. Bibir memucat dan nafas memburu. Istrinya yang mulai dirayapi
perasaan sama, malah mulai menangis ketakutan. Suami istri itu memang tidak ikut
makan tempe buatan sendiri karena sudah bosan. Istri Santayib mendekati suaminya
yang sedang duduk gelisah di atas lincak.
“Kang, orang-orang itu geger. Banyak tetangga yang sakit dan pingsan. Ini
bagaimana, Kang?”
Santayib membisu. Ketegangannya makin menjadi-jadi. Melihat laki-laki itu diam,
istrinya berseru lagi.
“Kang, apa tidak kaudengar orang-orang mengatakan mereka keracunan tempe
bongkrek? Bongkrek yang kita buat? Ini bagaimana, Kang?”
Sekali ini pun Santayib tetap membeku. Hanya dadanya turun-naik lebih cepat. Perang
antara suara hati dan suara nuraninya semakin seru. Fitrahnya sebagai manusia ingin
menolak keburukan yang akan datang menimpanya. Santayib mengerti kenyataan
yang dihadapi hampir mustahil terbantah. Dia akan dituntut tanggung jawab sebagai
pembuat bongkrek yang mendatangkan petaka. Nuraninya sendiri akan menuntut
demikian pula.
Di tengah kebimbangan demikian, muncullah Sakarya, ayah Santayib sendiri. Di
belakang Sakarya menyusul tiga orang laki-laki lain. Ketiganya dengan wajah berang.
“Oalah! Oalah! Santayib, anakku. Orang-orang itu mabuk keracunan bongkrek.
Bongkrekmu mengandung racun.”
Berkata demikian, Sakarya hendak berjalan ke dalam rumah anaknya, ingin melihat
bongkrek yang tersisa. Tiba-tiba Santayib berdiri. Perang antara perasaan menolak
dan menerima tuduhan bertanggung jawab muncul menjadi momen murka. Santayib
tegak pada kedua kakinya yang bergetar. Suara lantang ditujukan kepada empat lakilaki
di hadapannya.
“Tidak! Bongkrekku tidak mungkin beracun. Bahannya bungkil yang kering. Tidak
bercampur apa pun. Ayah, engkau jangan mengajak orang menuduh anakmu sendiri
dengan keji!”
“He, Santayib. Bukti yang berbicara. Lihat, anakku, istriku, emakku, semua tergeletak.
Mereka makan bongkrekmu pagi ini,” bentak seorang laki-laki di belakang Sakarya.
“Tidak bisa! Siapa tahu kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu kejadian ini karena
kutuk roh Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Siapa tahu!”
“He, barangkali engkau merambang bungkil dengan bokor tembaga,” seru laki-laki
lainnya. Sehabis bertanya demikian laki-laki itu berlari ke sumur. Benar. Di sana dia
menemukan sebuah bokor tembaga. Ada lapisan membiru, warna asam tembaga.
Bokor ini dibawanya ke depan orang banyak. Dia berteriak bagai orang gila.
“Santayib. Engkau anjing! Asu buntung. Lihat, bokor ini biru karena beracun. Asu
buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau... engkau aaasssu...”
Laki-laki yang hendak melempar Santayib dengan bokor itu tak kuasa meneruskan
niatnya. Kepalanya berputar. Ususnya terasa melilit. Wajah dan dadanya terasa panas.
Gemetar dan jatuh terjerembab. Kepanikan masih ditambah dengan munculnya
seorang perempuan yang berlari sambil mengangkat kain tinggi-tinggi. Tudingan jari
telunjuknya mengarah lurus ke arah bola mata Santayib.
“Oalaaah, Santayib. Dua orang cucuku tergeletak karena makan bongkrekmu. Mereka
akan segera mati. Hayo, bagaimana Santayib! Aku minta tanggung jawab. Engkau
hutang nyawa padaku. Tolong cucu-cucuku sekarang. Hayo!”
Rasa getir, kelu, dan bimbang mencekam hati Santayib. Dia bingung, amat bingung.
Kekacauan hatinya tergambar pada roman muka yang tidak menentu. Istri Santayib
berlari hilir-mudik, menangis dan memeluk Srintil. Seperti mengerti segalanya, Srintil
pun ikut menangis keras-keras. Boleh jadi kesadaran Santayib hanya tinggal sebagian
ketika dia lari masuk ke dalam. Keluar lagi dengan seonggok bongkrek di kedua
tangannya. Lengking suaranya membuat siapa pun meremang bulu kuduk.
“Bajingan! Kalian semua bajingan tengik! Betapapun bongkrekku tak bersangkut-paut
dengan malapetaka ini. Lihat! Akan kutelan bongkrek ini banyak-banyak. Kalau benar
ada racun, pasti aku akan segera sekarat!”
Secara menyolok Santayib memasukkan bongkrek ke dalam mulutnya. Tanpa
mengunyah, makanan itu cepat ditelannya. Pada mulanya, istri Santayib terpana.
Tetapi rasa setia kawan menyuruhnya segera bertindak. Sambil membopong Srintil,
perempuan itu ikut mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan langsung
menelannya.
Sejenak Sakarya terbelalak. Di depan matanya sendiri Sakarya melihat anak dan
menantunya menentang racun. Tergagap laki-laki tua itu meratap.
“Jangan. Oalah, Santayib, jangan. Engkau anakku, jangan menantang kematian.
Jangan!”
Sakarya hendak melompat ke depan. Ingin ditepiskannya tangan Santayib yang
menggenggam bongkrek. Malah ingin dikoreknya mulut anak dan menantunya agar
makanan beracun itu keluar kembali. Itu kehendak Sakarya. Tetapi ambang pintu
rumah Santayib lain kemauannya. Sakarya yang ingin bergerak secepatnya
tersandung ambang pintu, jatuh dengan kepala membentur tiang kayu. Tubuhnya
terjajar bersama laki-laki pertama yang gagal melempar Santayib dengan bokor
tembaga.
Dua tubuh laki-laki terkapar. Satu di antaranya adalah Sakarya, ayah Santayib sendiri.
Laki-laki pertama lunglai oleh racun tempe bongkrek, dan yang kedua pingsan karena
kepalanya terbentur tiang kayu. Dua laki-laki lainnya berlalu meninggalkan rumah
Santayib. Mereka tentu mempunyai kenangan berkesan atas dua tubuh yang tergolek
di tanah dan sepasang suami-istri yang sengaja menelan tempe beracun.
Gumpalan bongkrek terakhir sudah lewat melalui kerongkongan Santayib. Dia menoleh
istrinya yang semula berdiri di sampingnya ikut mengunyah bongkrek. Tetapi
perempuan itu telah menghilang ke dalam bilik sambil membopong Srintil.
Kebekuan yang mencekam meliputi rumah Santayib. Dia termangu. Dia tidak berbuat
apa pun terhadap dua tubuh laki-laki yang melingkar di tanah. Tidak. Santayib pun
membiarkan ayah kandungnya dalam keadaan tak sadarkan diri.
Apa yang terjadi kemudian hanya bisa diperbuat oleh orang tidak waras. Santayib
tertawa terbahak-bahak lalu berlari ke luar rumah. Sambil berjalan melompat-lompat,
dicacinya semua orang dengan ucapan yang paling kasar dan cabul. Dukuh Paruk
dikelilinginya. Santayib tidak peduli atas kepanikan luar biasa yang sedang melanda
para tetangga. Tatapan matanya jalang. Teriakannya membabi buta.
“Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka matamu, ini Santayib! Aku telah menelan seraup
tempe bongkrek yang kalian katakan beracun. Dasar kalian semua, asu buntung! Aku
tetap segar-bugar meski perutku penuh tempe bongkrek. Kalian mau mampus,
mampuslah. Jangan katakan tempeku mengandung racun. Kalian terkena kutuk Ki
Secamenggala, bukan termakan racun. Kalian memang asu buntung yang sepantasnya
mampus!”
Lelah berteriak-teriak, Santayib pulang. Di depan rumahnya dia berpapasan dengan
beberapa orang yang menggotong laki-laki yang tadi hendak melempar Santayib
dengan bokor tembaga. Sakarya masih pingsan, terkulai dekat ambang pintu.
Sejenak Santayib tertegun. Digoyangnya tubuh Sakarya yang tetap pingsan. Kemudian
Santayib berlalu. Tetapi kepalanya serasa melayang ketika dia bangkit. Kelap-kelip
seribu kunang-kunang di matanya. Sengatan pertama terasa menusuk lambungnya.
Santayib terus melangkah menuju bilik tidurnya. Derit daun pintu bambu. Tampak
istrinya tidur tengadah dengan keringat membasahi badannya. Wajahnya pucat
kebiruan. Terkadang perempuan itu meringis bila merasa urat-urat di perutnya
menegang.
Tetapi Srintil berceloteh lucu sekali di samping tubuh ibunya.
Meskipun terasa rumah berayun-ayun, istri Santayib tahu suaminya datang. Dengan
menggigil perempuan itu berusaha duduk di bibir balai-balai.
Suami-istri saling pandang. Mereka, dua manusia yang telah menerima sasmita dari
pencipta Dukuh Paruk. Keduanya berpandangan dengan cara aneh. Keduanya
membisu. Bayangan Santayib diterima oleh lensa mata istrinya, kemudian dijabarkan
secara kacau-balau oleh syaraf mata. Maka istri Santayib tidak melihat sosok
suaminya, melainkan sebuah bayangan bergerak yang amat menakutkan.
Wajah istri Santayib semakin pucat. Rona kengerian. Kelopak matanya membuka
lebar-lebar sehingga retina hanya berupa titik hitam di tengah bulatan putih. Mulutnya
ternganga seperti dia hendak berteriak keras.
Santayib pun demikian. Sesungguhnya gendang telinganya menangkap suara celoteh
Srintil yang lucu menawan. Tetapi Santayib mendengarnya sebagai hiruk-pikuk suara
ribuan monyet di pekuburan Dukuh Paruk. Santayib juga melihat beratus-ratus mayat
bangkit, dengan kacau-balau memukuli calung sampai tulang-tulang mereka rontok.
Mata Santayib terbeliak dengan mulut ternganga. Ketika Santayib melihat bayangan Ki
Secamenggala menjulurkan tangan hendak mencekik lehernya, dia hendak berteriak.
Namun semua urat di lehernya kaku.
Beku yang mencekam. Santayib sudah berdiri goyah. Istrinya duduk menggigil.
Keduanya tidak saling pandang. Hanya daya manusiawi terakhir memungkinkan
suami-istri itu masih sempat berbicara. Suara mereka terdengar dari tenggorokan
yang hampir tertutup.
“Kang,” kata istri Santayib dengan mata terbeliak lurus ke depan.
“Hhh?”
“Srintil, Kang, Bersama siapakah nanti anak kita, Kang?”
“Hhhh?”
“Aku tak tega meninggalkannya, Kang.”
Santayib hanya kuasa menelan ludah. Sementara itu Srintil meronta manja di atas
tikar. Santayib ingin memandangnya. Tetapi penglihatannya telah baur. Srintil yang
bergerak lucu hanya tampak sebagai hantu yang menakutkan. Santayib menikmati
kesadarannya yang terakhir ketika melihat istrinya roboh ke belakang. Dia pun segera
terkulai setelah dari mulutnya keluar umpatan; “bongkrek asu buntung. “ Istri
Santayib meninggal ketika dia berusaha memiringkan badannya hendak memeluk
Srintil.
Bau kematian telah tercium oleh burung-burung gagak. Unggas buruk yang serba
hitam itu terbang berputar-putar di antara pepohonan di Dukuh Paruk. Suaranya yang
serak hanya mendatangkan benci. Tetapi hari itu burung-burung gagak bersuka-ria di
Dukuh Paruk. Mereka berteriak-teriak dari siang sampai malam tiba.
Maut bekerja dengan sabar dan pasti. Maut telah berpengalaman dalam pekerjaannya
sejak kematian yang pertama. Tanpa terganggu oleh jerit dan ratap tangis, maut terus
menjemput orang-orang Dukuh Paruk. Hari itu sembilan orang dewasa meninggal. Dua
di antaranya adalah suami-istri Santayib. Juga sebelas anak-anak tidak tertolong.
Jumlah itu merupakan lebih dari separo anak di pedukuhan itu. Belasan anak lainnya
menjadi yatim-piatu pada hari yang sama.
Meski Santayib dan istrinya meninggal ketika hari masih siang, mayat mereka tidak
segera ditanam. Semua orang di Dukuh Paruk sibuk dengan mayat keluarga masingmasing.
Atau merawat orang-orang yang masih bertahan hidup. Orang-orang Dukuh
Paruk mempunyai cara sederhana menolong orang termakan racun. Air kelapa
bercampur garam menjadi pencahar yang lumayan mujarab. Juga air yang bercampur
abu dapur. Kalau orang keracunan bisa muntah setelah minum pencahar ini, ada
harapan hidup baginya. Celakanya, penggunaan pencahar yang tak terkendali sering
pula membawa kematian. Orang Dukuh Paruk sendiri tak tahu, banyak teman mereka
bukan mati oleh racun bongkrek, melainkan karena kekurangan cairan pada tubuh
mereka, akibat terlalu banyak muntah.
Malam hari, Sakarya bersama istrinya menunggui mayat anak mereka; Santayib
suami-istri. Srintil sering menangis. Bayi itu belum merasakan sedih. Srintil menangis
karena air susu tak lagi diperolehnya. Oleh Nyai Sakarya, Srintil diberi hidup dengan
air tajin. Walaupun sedang menunggu mayat anak dan menantunya, tengah malam
Sakarya keluar menuju makam Ki Secamenggala. Laki-laki itu menangis seorang diri di
sana. Dalam kesedihannya yang amat sangat, Sakarya mengadukan malapetaka yang
terjadi kepada moyang orang Dukuh Paruk. Sakarya tidak lupa, dirinya menjadi
kamitua di pedukuhan itu.
Ceritera Nenek yang paling membuatku penasaran adalah yang menyangkut Emak.
Bersama Ayah, Emak juga termakan racun. Bila Ayah langsung meninggal pada hari
pertama, tidak demikian halnya dengan Emak. Dia masih hidup sampai seorang mantri
datang pada hari ketiga. Mantri yang berkumis dan bertopi gabus itu menolong para
korban yang masih bernyawa dengan cara menghardik; mengapa mereka makan
tempe bongkrek, makanan yang bahkan tidak pantas untuk anjing.
Oleh Pak Mantri, Emak bersama lima orang lainnya dibawa ke poliklinik di sebuah kota
kawedanan. Beberapa hari kemudian seorang kembali ke Dukuh Paruk dalam keadaan
hidup, dan tiga lainnya sudah menjadi mayat. Emak tidak ada di antara mereka.
Nenek selalu menghentikan ceriteranya di sini. Aku merasa pasti. Nenek mengetahui
betul apa yang terjadi pada Emak selanjutnya. Namun seperti semua orang Dukuh
Paruk, Nenek selalu berusaba menutupi kenyataan yang berlaku atas diri Emak.
Sampai usia empat belas tahun, ketika Srintil mulai menjadi ronggeng itu, aku berhasil
mendapat sedikit keterangan tentang diri Emak. Ada orang yang secara tak sengaja
mengatakan Emak memang meninggal di polikiinik kota kawedanan itu. Namun
mayatnya dibawa ke kota kabupaten, di sana mayat Emak diiris-iris oleh para dokter.
Mereka ingin tahu lebih banyak mengenai racun tempe bongkrek. Dengan demikian
mayat Emak tidak pernah sampai kembali ke Dukuh Paruk. Di mana Emak dikubur tak
seorang Dukuh Paruk pun yang mengetahuinya.
Ada pula orang mengatakan Emak bisa diselamatkan. Namun sampai beherapa hari
Emak tidak boleh meninggalkan poliklinik. Kata orang itu, setelah Emak sehat benar
dia pergi dari poliklinik itu. Bukan pulang ke Dukuh Paruk, melainkan entah ke mana
bersama mantri yang merawatnya.
Jadi ada dua versi kisah tentang Emak. Mana yang layak kupercaya aku sendiri selalu
ragu. Namun setidaknya aku berharap, versi pertamalah yang benar. Artinya memang
Emak meninggal. Mayatnya lalu dicincang untuk kepentingan penyelidikan. Pikiran
durhaka semacam ini sengaja kudatangkan ke kepalaku. Kuharap orang akan mengerti
andaikata versi itu benar, hakekatnya lebih baik daripada kebenaran versi kedua.
Sayang, kedua-duanya tinggal menjadi ketidakpastian yang membuatku lebih merana
daripada seorang yatim-piatu.
Selama bertahun-tahun aku hanya bisa berandai-andai tentang Emak. Andaikan benar
Emak dijadikan bahan penyelidikan racun tempe bongkrek; maka mayat Emak
dibedah. Organ pencernaannya dikeluarkan. Juga jantung, bahkan pasti juga otaknya.
Orang-orang pandai tentu ingin tahu pengaruh racun bongkrek terhadap jaringan otot
jantung, sel-sel otak serta bagaimana racun membunuh butir-butir sel darah merah.
Darah Emak diperiksa untuk mengetahui sampai kadar berapa racun bongkrek yang
terkandung cukup mematikan. Kubayangkan hampir semua bagian organ tubuh Emak
dicincang-cincang. Lalu ditaruh di bawah lensa mikroskop atau diperiksa dalam
berbagai perkakas laboratorium yang rumit. Terakhir, mayat Emak yang sudah
berantakan dan berbau formalin ditanam. Entah di mana, entah di mana. Orang-orang
pandai itu, siapa pun dia, merasa berhak menyembunyikan kubur Emak. Aku yang
pernah sembilan bulan bersemayam dalam rahim Emak tidak perlu mengetahuinya.
Dalam membayangkan pencincangan terhadap mayat Emak, aku tidak merasakan
kengerian. Ini pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik
bagiku daripada bayangan lain yang juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan
Emak tidak meninggal melainkan pergi bersama si Mantri entah ke mana.
Boleh jadi Emak hidup senang. Di luar Dukuh Paruk kehidupan selalu lebih baik;
demikian keyakinanku sepanjang usia. Mantri yang selalu bertopi gabus, berpakaian
putih-putih dengan kumis panjang itu mengawini Emak. Mereka beranak-pinak.
Tentulah anak mereka berkulit bersih dengan betis montok dan selalu beralas kaki
pula. Setiap hari mereka makan nasi putih dengan lauk yang enak. Anak-anak itu,
yang hanya hidup dalam angan-anganku, pasti menganggap aneh kehidupan di Dukuh
Paruk. Emak sendiri mungkin merasa malu menceriterakan perihal kampung
halamannya kepada anaknya yang baru.
Suatu saat kubayangkan Emak ingin pulang ke Dukuh Paruk, karena aku yakin dia
perempuan yang baik. Namun aku yakin pula mantriku itu pasti melarangnya. Atau
Emak tak mungkin bisa kembali karena bersama mantri itu mereka telah pergi ke Deli,
tempat paling jauh yang pernah diceriterakan Nenek kepadaku.
Ah, entahlah. Akhirnya kubiarkan Emak hidup abadi dalam alam angan-anganku.
Terkadang Emak datang sebagai angan-angan getir. Terkadang pula dia hadir
memberi kesejukan padaku: Rasus, anak Dukuh Paruk sejati. Bagaimanapun aku tak
meragukan keberadaan Emak, seorang perempuan yang mengandung, melahirkan
kemudian menyusuiku. Itu sudah cukup.
Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyata. Srintil sudah menjadi ronggeng di
dukuhku, Dukuh Paruk. Usianya sebelas tahun. Aku empat belas tahun. Kini Srintil
menjadi boneka. Semua orang ingin menimangnya, ingin memanjakannya. Aka tahu
sendiri perempuan Dukuh Paruk berganti-ganti mencucikan pakaian Srintil. Mereka
memandikannya dan menyediakan arang gagang padi buat keramas.
Siapa yang menebang pisang akan menyediakan sesisir yang terbaik buat Srintil.
Kalau ada ayam dipotong karena sakit (orang Dukuh Paruk takkan pernah sengaja
memotong ayam), Srintil selalu mendapat bagian. Teman-temanku sebaya, Warta dan
Darsun, rela menempuh sarang semut burangrang di atas pohon asalkan mereka
dapat mencuri mangga atau jambu. Dengan buah-buahan itu Warta dan Darsun ikut
memanjakan Srintil.
Semua itu tak mengapa. Yang merisaukanku adalah ulah suami-istri Sakarya. Mereka
melarang Srintil keluar bermain-main di tepi kampung atau di bawah pohon nangka.
Bila ingin melihatnya, aku harus datang ke rumah Sakarya. Atau mengintip Srintil
selagi dia mandi di pancuran. Aku mengerti maksud Sakarya memingit cucunya.
Dalam waktu sebulan telah terlihat perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak
lagi terjerang terik matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup.
Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus
urat-urat berwarna kebiruan. Debu yang mengendap, menjadi daki, lenyap dari betis
Srintil. Dan yang kuanggap luar biasa; Nyai Sakarya berhasil mengusir bau busuk yang
dulu sering menguap dari lubang telinga Srintil.
Pokoknya, pada usia empat belas tahun aku berani mengatakan Srintil cantik. Boleh
jadi ukuran yang kupakai buat menilai Srintil hanya patut bagi selera Dukuh Paruk.
Namun setidaknya pengakuanku itu sebuah kejujuran. Maka pengakuan ini
berkelanjutan dan aku tidak merasa bersalah telah bersikap semacam itu. Artinya, aku
mulai merasa benci terhadap siapa saja yang menganggap Srintil adalah
wewenangnya, terutama suami-istri Sakarya. Terutama pula kepada pemuda-pemuda
yang memasukkan uang ke dada Srintil bila ronggeng itu menari tole-tole.
Perempuan-perempuan Dukuh Paruk begitu memanjakan Srintil sehingga dia seakan
tidak lagi memerlukan teman bermain. Tampaknya Srintil tidak merasa perlu memberi
perhatian kepadaku atau kepada siapa pun karena semua orang telah
memperhatikannya. Ah. Perhatian Srintil itulah yang terasa hilang di hatiku.
Sekali aku menemukan cara licik untuk memperoleh kembali perhatian ronggeng
Dukuh Paruk itu. Sebuah pepaya kucuri dari ladang orang. Pada saat yang baik, ketika
Srintil seorang diri di pancuran, buah curian itu kuberikan kepadanya. Tak kukira aku
akan memperoleh ucapan terima kasih yang menyakitkan.
“Sesungguhnya saya menginginkan jeruk keprok,” kata Srintil dingin. “Tetapi buah
pepaya pun tak mengapa.”-
Aku diam karena kecewa, dan sedikit malu. Namun aku mendapat akal untuk
menolong keadaan. Pikiran itu mendadak muncul setelah kulihat gigi Srintil telah
berubah.
“Aku tahu engkau ingin jeruk keprok. Namun buah itu tak baik buat gigimu yang habis
dipangur. Engkau akan dibuatnya merasa sangat ngilu.”
“Wah, kau benar, Rasus. Seharusnya aku tidak melupakan hal itu. Untung kau
mengingatkan aku,” jawab Srintil. Matanya menatapku dengan sungguh-sungguh.
Ketika kemudian Srintil tersenyum, sinar lembut memancar dari gigi taringnya yang
telah berlapis emas. Siapa pun yang berselera Dukuh Paruk akan terpacu jantungnya
bila menerima senyum dengan kilatan cahaya emas semacam itu.
Aku tak bisa berkata-kata. Bahkan dalam beradu pandang dengan Srintil, aku kalah.
Kurang ajar. Dasar ronggeng, pandangan matanya tak dapat kutantang. Anehnya cara
Srintil memandang membuatku senang. Namun seperti sudah kukatakan, Srintil sudah
tidak membutuhkan lagi teman sebaya. Maka tanpa canggung sedikit pun kemudian
dia berkata,
“Aku mau mandi sekarang, Rasus. Sebaiknya engkau pulang. Kalau mau kau bisa
menonton nanti malam. Aku akan menari lagi.”
“Oh, jadi kau mau menari lagi nanti malam?” tanyaku demi menutupi kejengkelan.
“Ya, benar. Sekarang pulanglah!”
Pulanglah!
Kata itu berulang-ulang terdengar di telingaku. Karena diusir dengan halus aku pun
pulang. Dalam hati aku mengumpat; bajingan! Ah, sesaat kemudian aku sadar,
sebenarnya aku tidak mengutuk Srintil, melainkan diriku sendiri. Soalnya aku lahir
menjadi orang yang layak diusir oleh ronggeng Dukuh Paruk itu.
Betapapun aku tidak suka menerima perlakuan Srintil, tetapi aku berlalu. Bukan
pulang. Aku hanya menyingkir tidak berapa jauh. Di atas sebuah tonggak kayu aku
duduk. Dari tempat itu pandanganku ke arah pancuran itu hanya terhalang perdu
kenanga.
Jadi, Srintil yang sedang membuka pakaiannya dapat kulihat dengan nyata. Kemudian
datang tiga orang perempuan. Seorang di antaranya membawa arang batang padi
untuk mengeramasi cucu Sakarya itu. Perkara mandi, Srintil sungguh tidak usah repot.
Ketiga perempuan itu berebut melayaninya. Srintil hanya perlu tertawa atau memekik
manja bila ada tangan yang mencubit bagian dadanya.
Perempuan-perempuan Dukuh Paruk itu! Kelak, sesudah aku tahu tentang perempuan
luar kampung, aku bisa mengatakan perempuan Dukuh Paruk memang hebat. Dalam
urusan ini aku bersyukur karena Emak telah lama lenyap dari pedukuhan itu. Kalau
tidak, kukira Emak juga berbuat seperti semua perempuan Dukuh Paruk. Mereka
bersaing dengan sesamanya melalui cara yang aneh.
Ketika menonton Srintil menari aku pernah mendengar percakapan perempuanperempuan
yang berdiri di tepi arena. Percakapan mereka akan membuat para suami
merasa tidak menyesal telah hidup dalam kungkungan rumah tangga.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama
yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.
“Jangan besar cakap,” kata yang lain. “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama
pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal
dikalahkan.”
“Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena
encok.”-
“Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?”
“Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai
cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium
Srintil.”
“Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang. Suamiku atau
suamimu.”
Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan
percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang
suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam
itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam
arti uangnya maupun birahinya.
Sejak peristiwa pemberian pepaya itu, aku merasa Srintil makin menjauh. Sering
kusumpahi diriku mengapa aku jadi merasa tersiksa karenanya. Kuajari diriku;
kecantikan Srintil bukan milikku, melainkan miliknya. Cambang halus di pipinya yang
makin enak dipandang bukan milikku, melainkan miliknya juga. Kalau Srintil
tersenyum sambil menari aku dibuatnya gemetar. Tetapi Srintil tersenyum bukan
untukku, melainkan untuk semua orang. Meskipun demikian pengajaran demikian
tidak menolongku. Aku tetap kecewa karena aku tidak lagi bisa bermain bersama
Srintil.
Boleh jadi karena merasa begitu tersiksa maka kutemukan jalan untuk memperoleh
kembali perhatian Srintil. Acap kali kudengar orang berceloteh bila Srintil habis
menarikan tari Baladewa. Kata mereka, tubuh Srintil masih terlampau kecil bagi
kerisnya yang terselip di punggung. Celoteh semacam ini membuka jalan karena di
rumahku ada sebuah keris kecil tinggalan ayah.
Lama aku berfikir tentang keris itu. Ada keraguan untuk menyerahkannya kepada
Srintil. Aku tahu Nenek pasti akan menentang kehendakku. Untung, roh-roh jahat
mengajariku bagaimana menipu nenekku yang pikun. Suatu hari kukatakan kepada
Nenek,
“Nek, tadi malam aku bermimpi bertemu Ayah. Dalam mimpiku itu Ayah berpesan
yang wanti-wanti harus kulaksanakan,” kataku dengan hati-hati.
“Apa pesan ayahmu?” jawab Nenek yang mulai terpancing kebohonganku.
“Soal keris itu, Nek. Kata Ayah keris itu harus kuberikan kepada siapa saja yang
menjadi ronggeng di pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah, Nek.”
Wajah Nertek makin berkerut-kerut. Buruk bukan main. Aku berharap meski
perempuan tua itu yang melahirkan Emak, kejelekan wajahnya tidak diturunkan.
Namun pikiran durhaka tidak lama berada di benakku. Segera kusadari, Neneklah
yang dengan sabar membesarkanku dengan susah payah. Bila Nenek memburuh
menumbuk padi, nasi yang dicatukan baginya tidak dimakan, agar di rumah aku tidak
kelaparan.
“Apakah karena kita kurang rajin merawatnya maka keris itu harus diserahkan kepada
orang lain?” tanya Nenek.
“Boleh jadi demikian, Nek,” jawabku mantap.
Aku percaya tipuanku mengena. Orang Dukuh Paruk, siapa pun dia, menganggap
wangsit sebagai bagian dari hukum yang pantang dilanggar. Maka dengan menyebut
kata wangsit itu aku berhasil menipu Nenek secara sempurna.
Keris bekas milik ayah tidak lebih dari dua jengkal tanganku. Sarungnya berlapis
kuningan atau suasa. Tangkainya terbuat dari kayu walikukun, berbentuk aneh. Bila
diperhatikan benar, tangkai keris itu mirip kemaluan laki-laki. Meskipun aku bernama
Rasus yang lahir di Dukuh Paruk, aku tidak tahu-menahu tentang keris. Aku tidak tahu
kegunaannya. Maka tidak sedikit pun aku merasa sayang menyerahkannya kepada
Srintil. Yang kuperlukan sekarang adalah waktu yang baik untuk melakukan
penyerahan itu.
Setiap hari bila matahari sudah naik, suami-istri Sakarya pergi ke ladang mereka. Pada
saat seperti itu Srintil seorang diri di rumah. Mencari kutu dengan perempuanperempuan
dewasa, atau tidur pulas bila malam sebelumnya Srintil habis menari. Yang
kupilih adalah saat demikian. Aku masuk dari pintu belakang, mengendap-endap
sampai ke bilik Srintil. Rumah Sakarya amat lengang. Srintil tergeletak di atas balaibalai,
pulas. Di dekat bantalnya tercecer banyak uang logam. Menjengkelkan bila
mengingat bagaimana uang logam itu dimasukkan ke dada Srintil oleh para perjaka.
Aku tahu pasti, tangan para perjaka itu bukan sekedar memasukkan uang. Dada Srintil
yang masih sangat muda itu pasti diperlakukan secara tidak senonoh.
Aku tetap berdiri memperhatikan Srintil yang tertidur nyenyak. Sudah kukatakan
usiaku tiga belas atau hampir empat belas tahun saat itu. Pengetahuanku tentang
perempuan, baik sebagai pribadi maupun sebagai lembaga, sungguh tak berarti.
Namun dengan daya tangkap yang masih sederhana aku dapat mengatakan ada
perbedaan kesan antara perempuan terjaga dan perempuan tertidur.
Lebih damai. Lebih teduh. Sepasang mata yang tertutup, lenyapnya garis-garis
ekspresi membuat wajah Srintil makin enak dipandang. Bibir yang tampil dengan
segala kejujurannya serta tarikan nafas yang lambat dan teratur, membuat aku
merasa berhadapan dengan citra seorang perempuan yang sebenarnya. Kelak aku
mengetahui banyak orang berusaha melukiskan citra sejati seorang perempuan.
Mereka menggunakan sarana seni lukis, seni patung atau seni sastra. Aku percaya
para seniman itu keliru. Bila mereka menghendaki lukisan seorang perempuan dengan
segala keasliannya, seharusnya mereka melukiskan perempuan yang sedang tidur
nyenyak.
Jadi aku tidak ingin membangunkan Srintil. Memang aku gagal mencegah tanganku
untuk tidak mengelus cambang halus di tepian pipi ronggeng itu. Dan memegang
dengan hati-hati pucuk hidungnya. Pada saat itu aku teringat ulah kambing-kambingku
sebelum mereka birahi. Teringat juga akan burung tekukur yang saling gigit paruh
sebelum mereka kawin. Aku ingin menirukan binatang-binatang itu. Namun batal,
khawatir Srintil akan terbangun atau aku sebenarnya tak rela dipersamakan dengan
kambing atau burung.
Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam
baju. Aku merasa lebih baik menyerahkan benda itu kepada Srintil selagi dia tertidur.
Ternyata kesan penyerahan semacam itu, dalam. Sangat dalam. Aku sama sekali tidak
merasa menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak. Yang
kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya hidup dalam alam
angan-angan yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja
perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga mewakili Emak, walau aku
tidak pernah tahu di mana dia berada.
Tangan Srintil kutata supaya keris yang kuletakkan dekat bantal berada dalam
pelukannya. Bajuku masih membungkus benda itu. Nanti bila Srintil terbangun dia
akan tahu siapa yang telah meletakkan keris itu di dekatnya. Sebelum berlalu sekali
lagi aku menatap Srintil. Aku ingin lebih yakin, dalam tidurnya ronggeng itu malah
lebih cantik.
Kambing-kambing tidak lagi menarik perhatianku. Mereka boleh berkeliaran sesuka
hati. Mereka boleh memasuki ladang orang, dan aku rela binatang gembalaanku itu
dibantai oleh petani yang marah. Aku ingin duduk sepuas hati di bawah pohon nangka.
Tempat itu masih memberi keteduhan meski aku sudah lama tidak bermain bersama
Srintil di sana. Di tempat ini aku duduk seorang diri; merenung.
Di sebelah kiriku, agak jauh ke barat, tampak pekuburan Dukuh Paruk. Tonggaktonggak
nisan kelihatan dari tempatku duduk. Hal yang mengecewakan, makam Emak
tidak ada di sana. Aku heran mengapa orang Dukuh Paruk tidak membuat
kesepakatan, dan bersama-sama menipuku. Kalau mereka mengatakan makam Emak
ada di antara makam-makam di pekuburan Dukuh Paruk, pasti aku percaya. Itu lebih
baik daripada aku harus mengkhayal antara percaya dan tidak kisah tentang diri
Emak. Apakah Emak masih hidup dan lari bersama mantri yang merawatnya, atau
sudah mati dan mayatnya dipotong-potong oleh para dokter.
Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia secantik Srintil. Bila
sedang tidur, tampillah Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi
sumber segala kesalehan, seperti Srintil yang saat itu masih telap memeluk keris kecil
yang kuletakkan di sampingnya.
Atau, Srintil sudah terjaga. Dia heran ketika menemukan sebilah keris ada di
dekatnya. Namun Srintil harus mengenal baju yang menjadi bungkus keris itu. Srintil
harus mengenal bajuku. Jadi ronggeng itu harus tahu siapa yang telah meletakkan
keris itu di sampingnya. Perhitunganku bukan khayalan kosong. Bukti kebenarannya
terbukti kemudian.
Sepasang tangan menutup mataku dari belakang. Sejenak aku tidak bisa menebak
siapa yang datang. Namun ketika tercium bau bunga kenanga, serta kuraba kulit
tangan yang halus, aku segera memastikan Srintil-lah orangnya.
“Kau melamun di sini, Rasus?” tanya Srintil sambil duduk di sampingku.
“Ah, tidak...”
“Katakan, ya!”
“Aku sedang...”
“Sudahlah. Jangan mencari alasan yang bukan-bukan. Aku tahu kau sedang melamun
karena kehilangan sehelai baju. Nah, ini dia. Pakailah!”
Srintil bukan hanya menyerahkan baju bekas pembungkus keris itu kepadaku. Dia
langsung memasangkannya pada tubuhku, serta mengancingnya sekalian. Punggung
tangan itu putih. Ujung jarinya merah karena Srintil mulai mengunyah sirih. Jantungku
berdenyut lebih cepat.
“Rasus, coba katakan padaku tentang keris itu. Dan mengapa engkau meletakkannya
di sampingku ketika aku sedang tidur,” kata Srintil dekat sekali dengan telingaku.
Aku tidak bisa segera menjawab.
Aku juga tidak berani mengangkat muka menatap wajah Srintil.
“Katakan, Rasus. Katakan.”
“Keris itu untukmu, Srin,” jawabku lirih, tanpa melihat lawan bicaraku.
“Ya, Rasus. Tetapi mengapa hal itu kaulakukan? Engkau senang padaku?”
Lagi, aku tak bisa menjawab. Namun ketika beberapa kali didesak, aku menjawab,
“Keris itu kecil, jadi cocok untukmu. Keris yang selama ini kaupakai terlalu besar.
Dengan keris pemberianku itu, kau akan bertambah cantik bila sedang menari
Baladewa.”
“Jadi engkau senang bila aku kelihatan bertambah cantik?”
Aku mengangguk.
“Tetapi apakah kau mengerti tentang keris yang kauberikan padaku itu?”
“Tidak. Aku tak tahu-menahu tentang keris,” jawabku.
“Oh, dengar. Kakek dan Kartareja telah tahu tentang keris itu.”-
“Apa? Kau juga mengatakan aku yang telah membawanya ke dalam bilikmu?”
“Tidak begitu. Mereka tidak kuberi tahu siapa yang membawa keris itu kepadaku. Aku
merahasiakan hal itu kepada mereka.”
“Lalu?”
“Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang
telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng.
Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke
tanganku. Rasus, dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek
dan juga kata Kartareja.”
“Dengan keris pemberianku itu kau akan menjadi ronggeng tenar?” kataku mengulang.
“Begitu kata mereka.”
“Jadi kau senang dengan pemberianku itu?”
“Oh tentu, Rasus.”
Kemudian Srintil merangkulku. Aku tahu dia sedang mengucapkan terima kasih.
Ulahnya tidak kucegah. Juga aku tetap diam ketika Srintil mulai menciumi pipiku. Tak
kuduga sama sekali dalam melakukan tindakan itu Srintil tak sedikit pun merasa
canggung. Tampaknya dia sudah terbiasa. Dalam hati aku bertanya kapankah Srintil
belajar cium-mencium? Atau begitukah seharusnya seorang ronggeng? Meski dia baru
berusia sebelas tahun?
Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Namun adat Dukuh Paruk mengatakan
masih ada dua tahapan yang harus dilaluinya sebelum Srintil berhak menyebut dirinya
seorang ronggeng yang sebenarnya. Salah satu di antaranya adalah upacara
permandian yang secara turun-temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki
Secamenggala.
Pagi itu Dukuh Paruk berhiaskan bunga bungur. Warna ungu yang semarak menghias
hampir semua sudut pedukuhan sempit itu.
Matahari mulai kembali pada lintasannya di garis katulistiwa. Angin tenggara tidak lagi
bertiup. Langit yang selalu membiru di musim kemarau mulai bernodakan gumpalangumpalan
awan. Kemarau sedang menjelang masa akhirnya.
Pagi yang lengang. Sinar matahari dalam berkas-berkas kecil menembus kerindangan
pekuburan Dukuh Paruk. Tetes-tetes embun di pucuk daun menangkap sinar itu dan
membiaskannya menjadi pelangi lembut yang berpendar-pendar. Seekor tupai
meluncur turun dari atas pohon. Binatang itu bergerak dalam lintasan yang berupa ulir
hingga mencapai tanah. Dengan mata waspada tupai itu melompat-lompat di atas
tanah, lalu naik lagi dengan seekor si kaki seribu tergigit di mulutnya.
Dalam kerimbunan tumbuhan benalu, sepasang burung madu berkejaran. Jantan yang
berwarna merah saga mengejar betinanya. Setelah tertangkap keduanya bergulat
sejenak lalu menjatuhkan diri bersama sambil bersenggama. Pasangan itu baru saling
melepaskan diri satu detik sebelum tubuh mereka menyentuh tanah. Perintah alam
selesai mereka laksanakan. Si jantan terbang dengan penuh kepuasan, kembali
terbang dan hinggap di kerimbunan benalu. Selesailah hidupnya karena seekor ular
hijau langsung menangkap dan memangsanya di sana.
Pohon beringin besar yang menjadi mahkota pekuburan Dukuh Paruk menjadi istana
para burung. Pada sebuah dahannya yang tersembunyi hinggap seekor burung
celepuk. Ia sedang terkantuk setelah menghabiskan malamnya dengan berburu tikus,
ikan atau katak. Hanya burung kucica yang kecil berani mengusik raja burung malam
itu. Burung-burung seling yang hitam pekat dan burung katik yang hijau, hinggap
dalam kelompok-kelompok. Mereka membisu sambil berjemur menanti hangatnya
udara pagi sebelum terbang mencari makanan di tempat lain.
Hari itu tak ada kegiatan kerja di Dukuh Paruk. Upacara memandikan seorang
ronggeng adalah peristiwa yang penting bagi orang di pedukuhan itu, lagipula amat
jarang terjadi. Maka tak seorang pun yang ingin tertinggal. Maka pagi-pagi warga
Dukuh Paruk, tiada kecualinya, sudah berkumpul di halaman rumah Kartareja. Mereka
akan mengiring Srintil dari rumah itu sampai ke makam Ki Secamenggala. Di sana
Srintil akan dipermandikan.
Srintil didandan dengan pakaian kebesaran seorang ronggeng. Aku melihat keris kecil
yang kuberikan kepada Srintil terselip di pinggang ronggeng itu. Serasi benar
ukurannya dengan badan Srintil. Itu bukan hanya penilaianku. Kudengar beberapa
orang berkomentar, “Srintil mengenakan keris baru yang lebih kecil dan bagus.
Alangkah pantasnya. Alangkah kenesnya.”
Aku yakin pujian itu terdengar oleh Srintil. Kutunggu tanggapannya. Srintil tidak
menoleh kepada orang yang mengucapkan pujian itu. Dia menolehku lalu tersenyum.
Sayang, aku tak dapat membalas senyum Srintil karena jantungku berdenyut
terlampau cepat. Boleh jadi orang-orang bertanya-tanya. Tetapi aku percaya kecuali
Srintil dan nenekku yang telah pikun, orang lain tak tahu tentang keris yang dipakai
Srintil pagi itu. Atau bila ada orang tahu bahwa akulah yang memberikan keris kecil
kepada Srintil, aku tidak peduli. Dengan memberikan pusaka itu kepada Srintil, aku
telah memperoleh imbalan yang cukup; Srintil kembali memperhatikan diriku. Ini
berarti ada seorang perempuan dalam hidupku, suatu hal yang telah bertahun-tahun
kudambakan.
Tidak bisa kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai kecintaan
atau seorang perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau kedua-duanya.
Tetapi jelas, penampilan Srintil membantuku mewujudkan angan-anganku tentang
pribadi perempuan yang telah melahirkanku. Bahkan juga bentuk lahirnya. Jadi sudah
kuanggap pasti, Emak mempunyai senyum yang bagus seperti Srintil. Suaranya
lembut, sejuk, suara seorang perempuan sejati. Tetapi aku tidak bisa memastikan
apakah Emak mempunyai cambang halus di kedua pipinya seperti halnya Srintil. Atau,
apakah juga ada lesung pipit pada pipi kiri Emak. Srintil bertambah manis dengan
lekuk kecil di pipi kirinya, bila ia sedang tertawa. Hanya secara umum Emak mirip
Srintil. Sudah kukatakan aku belum pernah atau takkan pernah melihat Emak.
Persamaan itu kubangun sendiri sedikit demi sedikit. Lama-lama hal yang kureka
sendiri itu kujadikan kepastian dalam hidupku.
Di halaman rumah Kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas
kali ini tanpa nyanyi atau tarian erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak
mengeluarkan seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan
pentas ronggeng biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara sakral yang
dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk.
Selesai bermain satu babak, rombongan ronggeng bergerak menuju pekuburan Dukuh
Paruk. Kartareja berjalan paling depan membawa pedupaan. Srintil di belakangnya.
Menyusul para penabuh. Sakum dituntun oleh seorang penabuh lainnya. Di belakang
mereka menyusul segenap warga Dukuh Paruk, dari anak-anak sampai yang tua-tua.
Bayi-bayi digendong, anak kecil dituntun. Mereka membuat barisan panjang, berarak
menuju makam Ki Secamenggala.
Sampai di tujuan, Kartareja meletakkan pedupaan di ambang pintu cungkup leluhur
Dukuh Paruk. Dua orang laki-laki membawa tempayan berisi air kembang. Dengan air
itu nanti Srintil akan dimandikan. Nyai Kartareja menuntun Srintil. Dilindungi oleh
beberapa perempuan tua lainnya, pakaian Srintil dibuka, hanya tinggal selembar kain
yang menutupi tubuh perawan itu.
Mantera-mantera dibacakan oleh Nyai Kartareja, ditiupkan ke ubun-ubun Srintil.
Kemudian tubuh perawan itu mulai diguyur air kembang, gayung demi gayung.
Sementara itu orang-orang dukuh Paruk lainnya hanya menonton. Srintil menjadi
pusat perhatian. Rombongan penabuh mempersiapkan diri. Mereka menata perkakas
masing-masing, duduk bersila di atas tanah.
Srintil selesai dimandikan. Nyai Kartareja mengeringkan rambut ronggeng itu dengan
sehelai kain. Tiga orang perempuan membantu Nyai Kartareja mendandani Srintil
kembali. Mereka menyisir, memberi bedak dan membantu Srintil mengenakan kain
serta mengikatkan sampur di pinggang. Semuanya sudah beres. Rambut Srintil sudah
disanggul. Kemudian ronggeng itu dituntun ke depan pintu cungkup. Di sana Srintil
menyembah dengan takjim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para
penabuh.
Tiba giliran bagi Kartareja. Setelah komat-kamit sebentar, laki-laki itu memberi abaaba
kepada pemukul gendang. Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk pecah. Suara
gendang dan calung menggema bersama dalam irama khas.
Berpuluh-puluh burung serentak terbang meninggalkan pepohonan di pekuburan itu.
Tidak seperti semua orang Dukuh Paruk, burung-burung itu tak menyukai irama
calung. Tidak seperti aku yang sedang tak berkedip melihat pengejawantahan Emak
pada diri Srintil, burung-burung itu tak menyukai ronggeng.
Pada saat seperti itu orang-orang Dukuh Paruk percaya semua roh di pekuburan itu
bangkit melihat pertunjukan. Mereka juga yakin arwah Ki Secamenggala berdiri di
ambang pintu cungkup dan melihat Srintil berjoget. Oleh karena itu tak seorang pun
berdiri di depan cungkup itu karena tak ingin menghalangi pandangan mata roh Ki
Secamenggala.
Aku berdiri di bagian depan. Seandainya ada orang Dukuh Paruk mampu berbicara
masalah apresiasi, maka alangkah baik bila diadakan pengukuran. Apresiasi siapakah
yang paling dalam atas pertunjukan ronggeng Srintil di pekuburan itu. Secara angkuh
aku dapat memastikan apresiasikulah yang paling dalam. Aku bukan hanya sekedar
melihat Srintil meronggeng, melenggang lenggok dan bertembang. Aku tidak hanya
mendengar keserasian bunyi calung, gendang dan gong tiup yang menghasilkan irama
indah. Juga aku bukan hanya terkesan oleh lentuk leher Srintil, goyang pundaknya
atau lentik jemarinya. Lebih dari itu. Karena aku melihat Srintil lebih daripada seorang
perawan kecil yang menjadi ronggeng. Pada saat seperti itu kerinduanku akan
kehadiran Emak terobati. Pada saat seperti itu hilang angan-angan apakah Emak
melarikan diri bersama mantri itu. Atau mati dan mayatnya dicincang-cincang. Yang
memenuhi jiwaku adalah kenyataan Srintil sedang menari, tersenyum kepadaku. Hal
itu sudah cukup melenyapkan, meski hanya sesaat, penderitaanku yang tak pernah
melihat Emak.
Konon semasa hidupnya Ki Secamenggala sangat menyukai lagu Sari Gunung. Maka
dalam rangkaian upacara mempermandikan Srintil itu lagu Sari Gunung-lah yang
pertama kali dinyanyikan oleh Srintil, secara berulang-ulang. Seperti pada awal
upacara di rumah Kartareja, pentas di pekuburan itu meniadakan lagu-lagu cabul.
Sakum diam. Tetapi menjelang babak ketiga terjadi kegaduhan. Kejadian itu takkan
pernah kulupakan buat selama-lamanya.
Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu
terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian
tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi
setengah terpejam.
Semua orang terkesima. Calung berhenti. Srintil menghentikan tariannya karena
calung dan gendang pun bungkam. Kartareja terus melangkah. Sampai di tengah
arena laki-laki tua bangka itu mulai menari sambil bertembang irama gandrung.
Hanya Sakarya yang cepat tanggap. Kakek Srintil itu percaya penuh roh Ki
Secamenggala telah memasuki tubuh Kartareja dan ingin bertayub. Maka Sakarya
cepat berseru,
“Pukul kembali gendang dan calung. Ki Secamenggala ingin bertayub. Srintil, ayo
menari lagi. Layani Ki Secamenggala.”
Irama calung kembali menggema. Tetapi suasana jadi mencekam. Semua orang
percaya akan kata Sakarya bahwa Kartareja sedang dirasuki arwah leluhur. Maka
mereka mundur dalam suasana tegang.
Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesahduan upacara sakral itu hilang. Lagu-lagu
pemancing birahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya.
Memoncongkan mulut lalu menghembuskan seruan cabul pada saat Srintil
menggoyang pinggul. Cesss... cessss.
Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati
Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan.
Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil
tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh birahi.
Penonton bersorak. Mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tetapi aku diam
terpaku. Jantungku berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun
kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. Hanya itu, karena
aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi
Srintil tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.
Tak kuduga sorak-sorai orang Dukuh Paruk berhenti seketika. Mereka, juga aku
sendiri, kemudian melihat Kartareja mendekap Srintil begitu kuat sehingga perawan
kecil itu tersengal-sengal. Bahkan akhirnya Srintil merintih kesakitan. Seakan dia
merasa tulang-tulang rusuknya patah oleh himpitan lengan Kartareja yang kuat.
Terjadi ketegangan. Tetapi belum ada orang yang bertindak. Kecuali Sakarya yang
tiba-tiba melompat ke depan sambil berseru,
“Hentikan calung. Hentikan calung!”
Sakarya mendekati Kartareja yang tetap mendekap Srintil kuat-kuat. Sakarya melihat
mata cucunya terbeliak karena sukar bernapas. Terbata-bata kakek Srintil itu meratap.
“Lepaskan cucumu, Eyang Secamenggala. Aku memohon lepaskan Srintil. Kasihani dia,
Eyang. Srintil adalah keturunanmu sendiri,” ratap Sakarya berulang-ulang.
Sehabis berkata demikian Sakarya berbalik mengambil pedupaan. Dikibas-kibaskannya
asap kemenyan itu ke arah Kartareja yang dipercayainya sedang kemasukan arwah Ki
Secamenggala. Nyai Kartareja mengambil segayung air kembang dan disiramkannya
ke kepala suaminya. “Eling, Kang. Eling,” kata Nyai Kartareja.
“Jangan panggil dengan sebutan Kang! Panggil dia dengan kata Eyang. Kau tak tahu
suamimu sedang kesurupan?” bentak Sakarya kepada Nyai Kartareja.
Entah oleh siraman air kembang atau oleh kepulan asap pedupaan, perlahan-lahan
Kartareja mengendorkan dekapannya atas diri Srintil. Kedua tangannya terkulai.
Dukun ronggeng itu mulai berdiri goyah, dan akhirnya roboh ke tanah. Tangan dan
kaki Kartareja kejang. Matanya kelihatan mengerikan karena hanya kelihatan
bagiannya yang putih.
Aku maju ke depan. Aku ingin menjadi orang pertama yang menolong Srintil dari
ketakutannya. Kurangkul pada pundaknya.
“Kau tidak apa-apa, Srin?” tanyaku.
Srintil hanya menggeleng. Dingin terasa tubuhnya. Tangannya gemetar.
Tinggal Kartareja yang menjadi perhatian orang. Dia masih terkapar. Tetapi perlahanlahan
dia menggeliat, kemudian melenguh. Matanya terbuka. Masih tertidur di tanah,
Kartareja menoleh kiri-kanan, lalu duduk. Dukun ronggeng itu masih kelihatan
bingung.
“Syukur-syukur,” ujar Sakarya. “Sampean sudah sadar, Kang?”
“Lho, ada apa? Kenapa badanku basah begini? Mengapa calung berhenti?” tanya
Kartareja bimbang. Dipandangnya orang-orang yang mengelilinginya, kemudian
Kartareja bangkit berdiri.
“Ada apa ini?” ulang Kartareja.
“He-he. Eyang Secamenggala baru saja hadir. Beliau bertayub bersama Srintil,” ujar
Sakarya menerangkan.
“Eyang Secamenggala?”
“Benar, Kang. Rohnya memasuki tubuh sampean dan tentu saja sampean tidak sadar.
Hal ini berarti persembahan kita pagi ini diterima olehnya. Srintil direstuinya menjadi
ronggeng.”
Percakapan selanjutnya antara Sakarya dan Kartareja tidak lagi kudengar. Aku juga
tidak lagi mendengar celoteh serta gumam orang-orang Dukuh Paruk tentang peristiwa
yang baru terjadi. Apa pun tak kuinginkan kecuali segera membawa Srintil menyingkir.
Kugandeng tangannya menuruni bukit kecil pekuburan. Srintil tidak kuantar pulang ke
rumahnya, melainkan kubawa ke rumahku. Suatu keberanian yang tak pernah
terbayangkan dapat kulakukan. Anehnya, Srintil menurut. Bukan main besar rasa
hatiku.
“Rasus, bila kau tahu betapa ngeri hatiku tadi,” ujar Srintil yang kududukkan di atas
lincak.
“Kartareja memang bajingan. Bajul buntung,” jawabku mengumpat dukun ronggeng
itu.
“Eh, Rasus. Jangan berkata begitu. Kaudengar tadi kata kakekku, bukan? Kartareja
hanya kesurupan arwah Ki Secamenggala.”
“Tidak peduli. Yang penting kakek tua bangka itu berbuat keterlaluan. Kau didekapnya.
Bila tak tertolong kau pasti mati tercekik.”
“Apakah engkau akan bersedih bila aku mati?” tanya Srintil. Pertanyaan itu membuat
mulutku terbungkam.
Ah. Srintil tak bersalah bila dia tak mengerti apa
arti dirinya bagiku. Dia takkan mengerti bahwa bagiku, dirinya adalah sebuah cermin
di mana aku dapat mencoba mencari bayangan Emak. Srintil takkan mengerti hal itu.
Dan sekali lagi kukatakan Srintil tak bersalah. Maka untuk sekedar menjawab
pertanyaan, kukatakan,
“Srin, kau dan aku sama-sama menjadi anak Dukuh Paruk yang yatim piatu sejak
kanak-kanak. Kita senasib. Maka aku tak senang bila melihat kau celaka. Bila kau mati
aku merasa kehilangan seorang teman. Kau mengerti?”
Aku mengira upacara permandian di pekuburan itu adalah syarat terakhir sebelum
seorang gadis sah menjadi ronggeng. Ternyata aku salah. Orang-orang Dukuh Paruk
mengatakan bahwa Srintil masih harus menyelesaikan satu syarat lagi. Sebelum hal
itu terlaksana, Srintil tak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran.
Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh
Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa
persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki
mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang
dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak
menikmati virginitas itu.
Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku.
Aku bukan hanya cemburu. Bukan pula sakit hati karena aku tidak mungkin
memenangkan sayembara akibat kemelaratanku serta usiaku yang baru empat belas
tahun. Lebih dari itu. Memang Srintil telah dilahirkan untuk menjadi ronggeng,
perempuan milik semua laki-laki. Tetapi mendengar keperawanannya disayembarakan,
hatiku panas bukan main. Celaka lagi, bukak-klambu yang harus dialami oleh Srintil
sudah merupakan hukum pasti di Dukuh Paruk. Siapa pun tak bisa mengubahnya, apa
pula aku yang bernama Rasus. Jadi dengan perasaan perih aku hanya bisa menunggu
apa yang akan terjadi.
Jauh-jauh hari Kartareja sudah menentukan malam hari Srintil harus kehilangan
keperawanannya. Untuk itu Kartareja sendiri harus mengeluarkan biaya. Tiga ekor
kambing telah dijualnya ke pasar. Dengan uang hasil penjualan itu dibelinya sebuah
tempat tidur baru, lengkap dengan kasur bantal dan kelambu. Dalam tempat tidur ini
kelak Srintil akan diwisuda oleh laki-laki yang memenangkan sayembara.
Sementara waktu suara calung lenyap dari Dukuh Paruk. Kartareja sedang giat
membuat persiapan pelaksanaan malam bukak-klambu itu. Dukun ronggeng itu rajin
keluar Dukuh Paruk untuk menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah
tersiar kabar tentang malam bukak-klambu bagi ronggeng Srintil. Orang-orang segera
tahu pula, Kartareja menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi laki-laki yang
ingin menjadi pemenang.
“Saatnya telah saya tentukan pada Sabtu malam yang akan datang,” kata Kartareja
pada suatu pagi di hadapan banyak laki-laki di pasar.
“Dan sampean meminta sekeping ringgit emas?”
“Ya. Kukira itu harga yang patut,” jawab Kartareja.
“Ah,” lenguh laki-laki yang bertanya tadi.
“E... Kenapa? Terlalu mahal? Ingat baik-baik. Pernahkah ada ronggeng secantik
Srintil?”
“Itu benar. Srintil memang ayu dan kenes. Tetapi siapa yang memiliki sebuah ringgit
emas di Dukuh Paruk,”
“Oh, saya tak pernah bermimpi seorang laki-laki Dukuh Paruk akan memenangkan
sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki
Dukuh Paruk. Aku tidak berharap mereka mengikuti sayembara.”
Berita tentang malam birahi itu cepat menyebar ke mana-mana, jauh ke kampungkampung
di luar Dukuh Paruk. Banyak perjaka atau suami yang tergugah
semangatnya. Tetapi sebagian besar segera memadamkan keinginannya setelah
mengerti apa syarat untuk tidur bersama Srintil pada malam bukak-klambu. Sebuah
ringgit emas senilai dengan harga seekor kerbau yang paling besar. Hanya beberapa
pemuda yang merasa dirinya sanggup mengalahkan tantangan itu.
Tiga hari sebelum Sabtu malam. Sebuah lampu minyak yang terang telah dinyalakan
di rumah Kartareja. Pintu sebuah kamar sengaja dibiarkannya terbuka. Dengan
demikian sebuah tempat tidur berkelambu yang masih baru bisa dilihat orang dari
luar. Tutup kasurnya putih bersih demikian pula bantalnya. Bagi semua orang Dukuh
Paruk yang biasa tidur di atas pelupuh bambu, pemandangan seperti itu sungguh luar
biasa. Sore itu banyak perempuan dan anak-anak Dukuh Paruk datang ke rumah
Kartareja hanya dengan tujuan melihat tempat tidur itu.
Aku sendiri ada di sana. Tidak masuk ke dalam rumah, karena dari tempatku berdiri di
sudut halaman sudah dapat kulihat tempat tidur berkelambu itu. Bila orang-orang
memandangnya dengan kagum, aku melihat tempat tidur itu dengan masygul. Muak
bercampur marah.

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat bagi Srintil melaksanakan malam
bukak-klambu, tidak lebih dari sebuah tempat pembantaian. Atau lebih menjijikkan
lagi. Di sana dua hari lagi akan berlangsung penghancuran dan penjagalan. Aku sama
sekali tidak berbicara atas kepentingan birahi atau sebangsanya. Di sana, di dalam
kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi pemusnahan mustika
yang selama ini amat kuhargai. Sesudah berlangsung malam bukak-klambu, Srintil
tidak suci lagi. Soal dia kehilangan keperawanannya, tidak begitu berat kurasakan.
Tetapi Srintil sebagai cermin tempat aku mencari bayangan Emak menjadi baur dan
bahkan hancur berkeping.
Membayangkan bagaimana Srintil tidur bersama seorang laki-laki, sama
menjijikkannya dengan membayangkan Emak melarikan diri bersama mantri itu. Aku
muak. Aku tidak rela hal semacam itu terjadi. Tetapi lagi-lagi terbukti seorang anak
dari Dukuh Paruk bernama Rasus terlalu lemah untuk menolak hal buruk yang amat
dibencinya. Jadi aku hanya bisa mengumpat dalam hati dan meludah. Asu buntung!
Masih dari tempatku berdiri, aku melihat Srintil keluar. Merah bibirnya karena Srintil
makan sirih. Rambutnya yang kelimis terjurai menutupi sebagian pundaknya yang
mulai berisi. Perempuan-perempuan serta anak-anak segera mengelilinginya di balaibalai.
Gumam pujian mulai didengungkan oleh para perempuan itu. Kulihat Srintil
tertawa riang. Apa yang salah bila gadis sebesar Srintil bersenang hati mendengar
segala macam pujian.
Melihat bagaimana cara para perempuan Dukuh Paruk memuji Srintil maka aku yakin
setiap diri mereka berharap kiranya anak perempuan mereka kelak seperti Srintil.
Menjadi ronggeng. Atau para perempuan itu menyesal mengapa kaki mereka pengkor,
atau pipi mereka tambun, atau bibir mereka seburuk bibir kerbau sehingga tak bakal
layak menjadi ronggeng. Tak tahulah!
Boleh jadi aku akan tetap melamun berang bila gerimis tidak turun. Tak kuduga
gerimis kali ini menguntungkan. Para perempuan dan anak-anak yang merubung
Srintil segera bangkit bergegas pulang ke rumah masing-masing. Aku sendiri hanya
maju beberapa langkah dan berteduh di emper rumah Kartareja. Srintil baru melihatku
setelah aku berada di bawah naungan emper itu.
“He? Engkau di situ, Rasus?” tanya Srintil. Nadanya bersukacita.
“Ya.”
“Sudah lama?”
“Sejak sebelum gerimis.”
“Mari masuk. Temani aku. Kartareja dan istrinya sedang pergi ke rumah kakekku,
Sakarya. Aku seorang diri sekarang.”
Srintil menarik tanganku.
Aku menurut. Kami duduk berdua di atas lincak. Srintil terus bergerak seperti kanakkanak.
Ah, dia memang masih kanak-kanak. Usianya sebelas atau dua belas tahun.
Meski begitu Srintil menangkap suasana yang lesu pada diriku.
“He, kau seperti malas bercakap-cakap. Kau segan menemaniku di sini?”
“Tidak. Sama sekali tidak.”
“Tapi kau hanya berkata bila kutanya. Kenapa?”
“Tutup pintu kamar itu dulu.”
“Lho, kenapa?”
“Aku tak ingin melihat tempat tidur itu meski Kartareja memamerkannya buat semua
orang,” kataku agak ketus.
Srintil termangu sejenak. Tak usah lama berfikir rupanya Srintil mengetahui juga
mengapa aku berkata demikian. Naluri seorang perempuan. Lama kunanti tanggapan
Srintil. Tetapi mulutnya yang mungil dan merah masih terkatup. Dia hanya bangkit
memenuhi permintaanku menutup pintu kamar itu. Derit pintu bambu dan lenyap dari
pandanganku tempat tidur yang akan menjadi ajang Srintil melepaskan
keperawanannya.
“Ya, Rasus aku tahu. Kau tak usah berkata banyak aku sudah tahu mengapa kau
membenci tempat tidur itu.”
“Hm?”
“Dan engkau tahu bahwa aku senang menjadi ronggeng, bukan?”
“He-eh.”
“Lalu?”
“Yah, aku hanya ingin bertanya padamu; bagaimana perasaanmu menghadapi saat
Sabtu malam itu?”
Aku tidak segera mendapat jawaban. Kulihat seorang gadis kecil sedang berfikir
tentang sesuatu yang baru baginya. Bukan hanya baru, melainkan juga sesuatu yang
menjadi salah satu tonggak sejarah biologisnya. Mungkin selama ini Srintil hanya
terpukau oleh janji Kartareja bahwa sebuah ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki
pemenang akan menjadi miliknya. Kemampuan pikirannya hanya sampai di situ.
“Bagaimana?” tanyaku mengulang.
“Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan kepala.
“Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kikira begitu.”
“Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang akan
menjadi ronggeng harus mengalami malam bukak-klambu. Kau sudah tahu itu,
bukan?”
“He-eh.”
“Atau begini, Rasus. Bukankah kau telah disunat?”
“Sudah tiga tahun. Kenapa?”
Srintil diam. Dikibaskannya rambutnya ke belakang. Wajahnya menunduk. Kemudian
tanpa melihatku ronggeng itu berkata.
“Misalnya, Rasus. Misalnya. Engkau mempunyai sekeping ringgit emas.”
“Selamanya aku takkan pernah mempunyai sebuah ringgit emas,” jawabku cepat.
“Aku hanya mempunyai sebuah keris kecil warisan Ayah, dan satu-satunya milikku
yang berharga itu telah kuserahkan padamu. Kini engkau pasti tahu aku tak
mempunyai apa-apa lagi. Kau harus tahu hal itu, Srintil.”
Mata Srintil terarah lurus kepadaku. Tak lebih dari sepasang mata anak-anak. Aneh
juga. Dari pemilik sepasang mata itu aku mengharap terlalu banyak. Tetapi aku tak
merasa bersalah. Tidak. Karena pada saat itu misalnya, ketika Srintil menatapku
tajam, aku teringat Emak. Emakku yang mati dan mayatnya dicincang. Atau Emakku
yang lari bersama mantri keparat itu, dan sekarang barangkali berada di Deli, negeri
khayali yang berada di batas langit.
Kutoleh Srintil. Dia masih menatapku dengan cara seorang bodoh. Padahal yang
kuharapkan waktu itu adalah pernyataan Srintil bahwa ia tidak akan menempuh
malam bukak-klambu karena dia telah memutuskan tidak akan menjadi ronggeng. Ah,
keinginan gila yang mustahil terlaksana. Lucunya, aku menyadari hal itu sebaikbaiknya.
Suasana yang bisu membuatku tak betah. Srintil pun kulihat gelisah di tempatnya. Aku
tak tahu apalagi yang patut kuperbuat, atau layak kukatakan kepada Srintil. jadi aku
bangkit tanpa berucap barang sepatah kata dan berjalan ke arah pintu.
“Engkau mau ke mana, Rasus?” kata Srintil.
“Pulang.”
“Jadi engkau mau pulang?”
“Ya.”
“Jadi engkau mau pulang, Rasus? Di luar masih gerimis,” ujar Srintil di belakangku.
Aku terus berjalan. Lepas di halaman, kain sarung kututupkan ke atas kepala. Ketika
membalikkan badan kulihat Srintil masih berdiri di bawah atap emper. Sebenarnya aku
tidak meninggalkannya dengan sepenuh hati. Tetapi aku terus berjalan. Sampai di
rumah aku langsung merebahkan diri ke atas lincak.
Hujan turun makin lebat. Alam menghiburku dengan tiris lembut menyapu tubuhku
yang tergulung kain sarung. Aku tidur melingkar seperti trenggiling. Dengan demikian
panas tubuhku agak terkendali. Tidur di atas pelupuh, kala hari hujan. Kenangan yang
tak terlupakan bagi anak-anak Dukuh Paruk. Aku terlena, larut dalam perjalanan alam
pedukuhan kecil itu.
Jumat malam.
Kemarau sungguh-sungguh telah berakhir. Siang hari hujan turun amat lebat. Lapisan
lumpur yang telah berbulan-bulan mengeras seperti batu, kini terendam air. Sawah
luas yang mengelilingi Dukuh Paruk tergenang. Dukuh Paruk menjadi pulau. Hanya
jaringan pematang tampak membentuk kotak-kotak persegi yang sangat banyak.
Tetapi tanah pematang rapuh dan longsor bila terinjak kaki.
Burung bluwak, kuntul dan trintil muncul kembali. Selama kemarau mereka mengungsi
di tanah-tanah paya di muara Citanduy. Sebentar rumpun-rumpun bambu di Dukuh
Paruk akan ramai oleh berbagai burung air. Mereka berkembang-biak di sana seperti
dilakukan oleh nenek moyang mereka entah sejak berapa abad yang lalu.
Dukuh Paruk akan melewati bulan-bulan yang lembab. Lumut akan tumbuh pada
dinding bambu atau tiang kayu yang basah. Jamur akan tumbuh pada kayu mati atau
dahan yang lapuk. Cacing menjalar di emper-emper. Orong-orong membuat galurgalur
di bawah tanah, menerobos bawah dinding dan berakhir di bawah balai-balai.
Kutu air dan kudis akan kembali merajalela pada kaki dan tangan anak-anak Dukuh
Paruk. Dan orang-orang di sana akan menerimanya sebagai kebiasaan alami.
Selagi Dukuh Paruk berhiaskan genangan air di mana-mana, menjelang senja
kelihatan seorang pemuda sedang bergegas ke sana. Dower, pemuda itu, tidak
mempedulikan pematang panjang yang becek. Dia terus berjalan. Cekat-ceket bunyi
telapak kakinya ketika diangkat dari lumpur. Kain sarung tidak dipakainya melainkan
disilangkannya di pundak. Bila dipakai kain sarung Dower pasti akan belepotan.
Hanya satu hal yang memenuhi benak Dower. Segera sampai ke Dukuh Paruk dan
mengetuk pintu rumah Kartareja. Makin dekat ke pedukuhan itu Dower makin
terbayang akan sebuah tempat tidur berkelambu. Putih bersih dengan kasur dan
bantal yang baru. Dan yang paling penting; seorang perawan kencur yang terbaring di
dalamnya.
Memenangkan sayembara bukak-klambu bukan hanya menyangkut renjana birahi.
Bukan pula hanya menyangkut sukacita mewisuda seorang perawan, melainkan juga
kebanggaan. Dower sungguh-sungguh berharap kelak orang akan bergunjing,
“Tenyata Dower bukan pemuda sembarang. Dialah orangnya yang memenangkan
sayembara bukak-klambu bagi ronggeng Srintil.”-
Menginjak tanah Dukuh Paruk, hati Dower makin kacau. Hari sudah benar-benar
gelap. Lampu-lampu telah dinyalakan. Langit pekat meski hujan belum lagi turun.
Selagi tanah basah, jengkerik dan gangsir malas berbunyi. Orong-orong
menggantikannya. Serangga tanah itu menggetarkan sayapnya yang menimbulkan
suara buruk dan berat. Katak dahan berteriak-teriak. Tidak seperti kodok atau katak
hijau, katak dahan bersuara dengan selang waktu yang jarang.
Ada sebuah gardu ronda di perempatan jalan kecil di Dukuh Paruk. Dower mendengar
gumam beberapa pemuda dari dalam gardu itu. Seandainya Dower tahu. Pemudapemuda
dalam gardu itu sama seperti dirinya, datang dari luar Dukuh Paruk dalam
kaitannya dengan sayembara bukak-klambu. Namun mereka hanya ingin melihat
perkembangan apakah telah ada seorang pemuda datang memenuhi permintaan
Kartareja akan sebuah ringgit emas. Mereka sendiri tidak mempunyai uang sebanyak
itu. Namun kesempatan mereka mungkin terbuka bila tidak ada pemuda yang sanggup
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Kartareja. Dalam hal terjadi demikian,
diharapkan Kartareja akan menurunkan tarifnya.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, rumah Kartareja sudah sepi sejak sore.
Dukun ronggeng itu telah mengusir anak-anak yang datang. Tetapi orang-orang tua
tidak perlu kena usir. Mereka, orang-orang Dukuh Paruk, telah maklum Kartareja
sedang menghadapi hajat penting, dan tidak ingin mengganggunya.
Sinar lampu mengenai tubuh Dower ketika dia mencapai halaman rumah Kartareja.
Pemuda itu berhenti sejenak. Dari sana Dower dapat melihat Kartareja sedang duduk
seorang diri, mengepul-ngepulkan asap rokoknya. Di samping makan sirih, kakek itu
juga perokok yang kuat.
Sesungguhnya Kartareja sedang gelisah. Namun perasaan itu tertutup oleh
ketenangannya. Sudah Jumat malam. Seorang pemuda pun belum juga datang
memenuhi harapannya, menyerahkan sekeping ringgit emas bagi keperawanan Srintil.
“Alangkah malu bila sayembara bukak-klambu yang kuselenggarakan tidak berhasil.
Sia-sialah tiga ekor kambing yang telah kujual,” pikir Kartareja seorang diri. Tetapi
lamunan dukun ronggeng itu terhenti ketika pintu depan berderit.
“Kula nuwun,” Dower mengucapkan salam.
“Mangga,” jawab Kartareja. Dijulurkannya lehernya sambil menyipitkan mata. Sinar
lampu membuat matanya silau. “Oh, mari masuk.”
Dower melangkah di bawah tatapan Kartareja. Lalu duduk. Berderit bunyi pelupuh
lincak yang didudukinya. Kartareja segera tahu tamunya datang dari jauh karena
mendengar nafas Dower yang terengah-engah.
“Engkau kelihatan lelah. Dari mana engkau datang, Nak?” tanya Kartareja membuka
percakapan.
“Dari Pecikalan, Kek. Namaku Dower.”
“Wah, Pecikalan? Alangkah jauh.”
“Yah, Kek. Itulah, jauh-jauh saya datang karena saya mendengar kabar.”
“Tentang bukak-klambu, bukan?”
“Benar, Kek.”
“Waktunya besok malam. Engkau sudah tahu akan syarat yang kuminta, bukan?”
tanya Kartareja tanpa melihat tamunya.
“Saya sudah tahu. Sebuah ringgit emas,” jawab Dower datar.
“Betul. Apakah sekarang kau telah membawanya?”
Aku terus berjalan. Lepas di halaman, kain sarung kututupkan ke atas kepala. Ketika
membalikkan badan kulihat Srintil masih berdiri di bawah atap emper. Sebenarnya aku
tidak meninggalkannya dengan sepenuh hati. Tetapi aku terus berjalan. Sampai di
rumah aku langsung merebahkan diri ke atas lincak.
Hujan turun makin lebat. Alam menghiburku dengan tiris lembut menyapu tubuhku
yang tergulung kain sarung. Aku tidur melingkar seperti trenggiling. Dengan demikian
panas tubuhku agak terkendali. Tidur di atas pelupuh, kala hari hujan. Kenangan yang
tak terlupakan bagi anak-anak Dukuh Paruk. Aku terlena, larut dalam perjalanan alam
pedukuhan kecil itu.
Jumat malam.
Kemarau sungguh-sungguh telah berakhir. Siang hari hujan turun amat lebat. Lapisan
lumpur yang telah berbulan-bulan mengeras seperti batu, kini terendam air. Sawah
luas yang mengelilingi Dukuh Paruk tergenang. Dukuh Paruk menjadi pulau. Hanya
jaringan pematang tampak membentuk kotak-kotak persegi yang sangat banyak.
Tetapi tanah pematang rapuh dan longsor bila terinjak kaki.
Burung bluwak, kuntul dan trintil muncul kembali. Selama kemarau mereka mengungsi
di tanah-tanah paya di muara Citanduy. Sebentar rumpun-rumpun bambu di Dukuh
Paruk akan ramai oleh berbagai burung air. Mereka berkembang-biak di sana seperti
dilakukan oleh nenek moyang mereka entah sejak berapa abad yang lalu.
Dukuh Paruk akan melewati bulan-bulan yang lembab. Lumut akan tumbuh pada
dinding bambu atau tiang kayu yang basah. Jamur akan tumbuh pada kayu mati atau
dahan yang lapuk. Cacing menjalar di emper-emper. Orong-orong membuat galurgalur
di bawah tanah, menerobos bawah dinding dan berakhir di bawah balai-balai.
Kutu air dan kudis akan kembali merajalela pada kaki dan tangan anak-anak Dukuh
Paruk. Dan orang-orang di sana akan menerimanya sebagai kebiasaan alami.
Selagi Dukuh Paruk berhiaskan genangan air di mana-mana, menjelang senja
kelihatan seorang pemuda sedang bergegas ke sana. Dower, pemuda itu, tidak
mempedulikan pematang panjang yang becek. Dia terus berjalan. Cekat-ceket bunyi
telapak kakinya ketika diangkat dari lumpur. Kain sarung tidak dipakainya melainkan
disilangkannya di pundak. Bila dipakai kain sarung Dower pasti akan belepotan.
Hanya satu hal yang memenuhi benak Dower. Segera sampai ke Dukuh Paruk dan
mengetuk pintu rumah Kartareja. Makin dekat ke pedukuhan itu Dower makin
terbayang akan sebuah tempat tidur berkelambu. Putih bersih dengan kasur dan
bantal yang baru. Dan yang paling penting; seorang perawan kencur yang terbaring di
dalamnya.
Memenangkan sayembara bukak-klambu bukan hanya menyangkut renjana birahi.
Bukan pula hanya menyangkut sukacita mewisuda seorang perawan, melainkan juga
kebanggaan. Dower sungguh-sungguh berharap kelak orang akan bergunjing,
“Tenyata Dower bukan pemuda sembarang. Dialah orangnya yang memenangkan
sayembara bukak-klambu bagi ronggeng Srintil.”-
Menginjak tanah Dukuh Paruk, hati Dower makin kacau. Hari sudah benar-benar
gelap. Lampu-lampu telah dinyalakan. Langit pekat meski hujan belum lagi turun.
Selagi tanah basah, jengkerik dan gangsir malas berbunyi. Orong-orong
menggantikannya. Serangga tanah itu menggetarkan sayapnya yang menimbulkan
suara buruk dan berat. Katak dahan berteriak-teriak. Tidak seperti kodok atau katak
hijau, katak dahan bersuara dengan selang waktu yang jarang.
Ada sebuah gardu ronda di perempatan jalan kecil di Dukuh Paruk. Dower mendengar
gumam beberapa pemuda dari dalam gardu itu. Seandainya Dower tahu. Pemudapemuda
dalam gardu itu sama seperti dirinya, datang dari luar Dukuh Paruk dalam
kaitannya dengan sayembara bukak-klambu. Namun mereka hanya ingin melihat
perkembangan apakah telah ada seorang pemuda datang memenuhi permintaan
Kartareja akan sebuah ringgit emas. Mereka sendiri tidak mempunyai uang sebanyak
itu. Namun kesempatan mereka mungkin terbuka bila tidak ada pemuda yang sanggup
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Kartareja. Dalam hal terjadi demikian,
diharapkan Kartareja akan menurunkan tarifnya.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, rumah Kartareja sudah sepi sejak sore.
Dukun ronggeng itu telah mengusir anak-anak yang datang. Tetapi orang-orang tua
tidak perlu kena usir. Mereka, orang-orang Dukuh Paruk, telah maklum Kartareja
sedang menghadapi hajat penting, dan tidak ingin mengganggunya.
Sinar lampu mengenai tubuh Dower ketika dia mencapai halaman rumah Kartareja.
Pemuda itu berhenti sejenak. Dari sana Dower dapat melihat Kartareja sedang duduk
seorang diri, mengepul-ngepulkan asap rokoknya. Di samping makan sirih, kakek itu
juga perokok yang kuat.
Sesungguhnya Kartareja sedang gelisah. Namun perasaan itu tertutup oleh
ketenangannya. Sudah Jumat malam. Seorang pemuda pun belum juga datang
memenuhi harapannya, menyerahkan sekeping ringgit emas bagi keperawanan Srintil.
“Alangkah malu bila sayembara bukak-klambu yang kuselenggarakan tidak berhasil.
Sia-sialah tiga ekor kambing yang telah kujual,” pikir Kartareja seorang diri. Tetapi
lamunan dukun ronggeng itu terhenti ketika pintu depan berderit.
“Kula nuwun,” Dower mengucapkan salam.
“Mangga,” jawab Kartareja. Dijulurkannya lehernya sambil menyipitkan mata. Sinar
lampu membuat matanya silau. “Oh, mari masuk.”
Dower melangkah di bawah tatapan Kartareja. Lalu duduk. Berderit bunyi pelupuh
lincak yang didudukinya. Kartareja segera tahu tamunya datang dari jauh karena
mendengar nafas Dower yang terengah-engah.
“Engkau kelihatan lelah. Dari mana engkau datang, Nak?” tanya Kartareja membuka
percakapan.
“Dari Pecikalan, Kek. Namaku Dower.”
“Wah, Pecikalan? Alangkah jauh.”
“Yah, Kek. Itulah, jauh-jauh saya datang karena saya mendengar kabar.”
“Tentang bukak-klambu, bukan?”
“Benar, Kek.”
“Waktunya besok malam. Engkau sudah tahu akan syarat yang kuminta, bukan?”
tanya Kartareja tanpa melihat tamunya.
“Saya sudah tahu. Sebuah ringgit emas,” jawab Dower datar.
“Betul. Apakah sekarang kau telah membawanya?”
Dower tersipu. Dia tidak berani mengangkat muka. Kartareja melepas napas panjang.
Dalam hati dia mengeluh, karena belum juga muncul sebuah ringgit emas yang
diinginkannya.
“Wah, Kek,” kata Dower akhirnya. “Pada saya baru ada dua buah rupiah perak. Saya
bermaksud menyerahkannya kepadamu sebagai panjar. Masih ada waktu satu hari
lagi. Barangkali besok bisa kuperoleh seringgit emas.”
Kartareja tidak segera memberi tanggapan. Kecewa dia. Diisapnya rokoknya dalamdalam.
Asap dihembuskannya jadi desah panjang. Namun Kartareja berfikir, dua buah
uang rupiah perak adalah jumlah paling banyak yang disanggupi oleh seorang calon
sampai pada saat itu.
“Jadi begitulah maksudmu, Nak?”
“Ya, Kek.”
“Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang
membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang
panjarmu hilang. Bagaimana?”
“Kalau aku gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjarku hilang?” tanya
Dower.
“Ya!” Jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu,
tampak berfikir keras.
“Kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Silakan berfikir. Atau segera pulang ke
Pecikalan selagi malam belum larut. Aku akan menunggu pemuda lain, beberapa orang
yang akan segera tiba.”
Gertakan halus Kartareja mengena. Buktinya, Dower menjadi gelisah, lalu berkata,
“Baik, baik, Kek. Kuterima syarat itu. Nah, inilah uang panjar itu.”
Dower berdiri agar mudah merogoh saku celananya. Sesaat kemudian terdengar
kemerencing. Dua buah uang rupiah perak tergeletak di atas meja, berkilat-kilat
terkena sinar lampu. Kartareja meraupnya, lalu dimasukkannya ke dalam saku di ikat
pinggangnya. Pada saat itu muncul Srintil membawa baki berisi teko dan dua buah
cangkir. Di piring ada goreng ubi. Ketika meletakkan hidangan itu Srintil menggigit
bibir. Sekali pun dia tidak mengangkat muka ke arah Dower, membuat hati pemuda
dari Pecikalan itu malah penasaran. Kartareja tersenyum melihat Dower resah dalam
duduknya.
Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh Paruk. Ketika
Kartareja bercakap-cakap dengan Dower aku mendengarnya dari balik rumpun pisang
di luar rumah. Jadi saat itu sudah kuperoleh gambaran pertama Dower-lah yang akan
memenangkan malam bukak-klambu. Aku belum mengenal perjaka Pecikalan itu.
Tetapi kebencianku kepadanya langsung melangit.
Segera terbayang olehku Dower memperlakukan Srintil secara tidak senonoh dalam
tempat tidur berkelambu itu. Pasti, sangat pasti, Dower tidak seperti aku yang selalu
bersikap hormat kepada ronggeng itu. Bertahun-tahun lamanya aku menyusun
gambaran sedikit-demi sedikit, sehingga terbentuk gambaran Emak secara hampir
lengkap pada diri Srintil. Maka Srintil mendapat tempat yang mulia dalam hidupku.
Sedangkan Dower tidak demikian. Dia akan merasa telah membeli Srintil. Dalam
waktu satu malam Srintil akan menjadi barang yang sudah terbeli. Dower akan
memperlakukannya sebagaimana dia suka. Bajingan tengik!
Dan aku meludah sengit.
Di langit tak sebuah bintang pun kelihatan. Secercah warna terang tampak di langit
sebelah barat. Pastilah bulan berada di balik sana. Keremangan yang dibuatnya
mampu memperlihatkan bayangan seekor kalong yang terbang perlahan ke selatan.
Kirapnya malas, namun pasti. Lepas dari bayangan bulan, kalong itu lenyap.
Perhatianku kembali kepada Dower ketika pintu depan rumah Kartareja berderit.
Perjaka Pecikalan itu keluar. Kukira dia akan segera berusaha menepati janji yang
diucapkannya di depan dukun ronggeng itu, mencari sekeping ringgit emas sampai
dapat. Atau dia akan kehilangan dua buah rupiah perak bila usahanya gagal.
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku memutuskan keluar dari tempat
persembunyian lalu dengan diam-diam mengikuti Dower dari belakang. Sambil
berjalan berjingkat agar tak diketahui oleh Dower, aku sudah berkhayal tentang
perkelahian. Bagaimana seandainya Dower langsung kutinju tengkuknya. Atau
kutendang pinggangnya sehat tenaga. Pokoknya aku ingin melumat perjaka Pecikalan
yang akan menggagahi Srintil itu.
Tak kusangka keinginanku menyakiti Dower dapat terlaksana. Sampai dekat gardu
Dower berhenti, kemudian sumpah serapah keluar dari mulutnya. Aku tahu kemudian
tiga orang pemuda yang tadi berkumpul di gardu ronda melempar Dower dengan
gumpalan lumpur.
“Bajingan tengik! Siapa berani melempari aku?” seru Dower marah.
Tak ada jawaban. Bahkan lemparan-lemparan berikutnya menyusul, tepat mengenai
punggung Dower. Baju dan kainnya belepotan. Kemarahan pemuda Pecikalan itu
makin menjadi-jadi. Dia berbalik dan bertolak pinggang. Kini Dower menghadap ke
arahku kira-kira sepuluh langkah di depan.
“He! Kamu asu buntung. Kalau ingin berkelahi, ayo keluar! Ayo hadapi aku; Dower dari
Pecikalan!”
Masih belum ada jawaban. Aku bergerak ke samping, menghindar dari pandangan
Dower. Rasa ingin ikut menyakiti Dower muncul di hatiku. Maka aku menekuk kedua
kaki demi mencari sesuatu untuk kulemparkan kepadanya. Tanganku meraba sesuatu
yang mengonggok. Tahi sapi. Kotoran itu kuraup dengan tangan kanan, langsung
kulemparkan kepada Dower. Kudengar perjaka Pecikalan itu mengutuk habis-habisan.
Dia hendak melangkah ke depan. Tetapi batal karena dari arah belakang meluncur
gumpalan-gumpalan lumpur, makin lama makin seru. Akhirnya Dower tak bisa berbuat
lain kecuali menutup muka dengan kedua tangan agar matanya terhindar dari hujan
lumpur.
Tidak tahan menghadapi serangan gelap itu akhirnya Dower lari. Bukan main sakit
hatinya ketika dia mendengar beberapa pemuda terbahak-bahak. Dower berbelok
ingin mengejar para penyergapnya. Tetapi dia belum memahami lorong-lorong di
Dukuh Paruk. Dower kehilangan jejak. Hanya terdorong ingin membalas dendam maka
Dower terus berlari dalam gelap. Akhirnya, byur! Dower terjerumus masuk ke dalam
sebuah kubangan yang dalam. Sekali lagi terdengar suara gelak tawa tiga orang
pemuda. Sebaliknya Dower berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
Tak ada yang peduli pada Dower yang menggapai-gapaikan tangannya dari dalam
kubangan itu. Ketika akhirnya ia berhasil naik, seluruh tubuhnya basah kuyup dan
kotor. Perjaka Pecikalan masih bertambah sakit hati karena dia mendengar para
penyerang menertawakannya.
Suara yang menghinakannya itu makin lama terdengar makin jauh. Dower tidak
pernah tahu aku masih berada di dekatnya. Maka aku masih sempat mendengar
Dower mengeluh. “Bajingan! Asu buntung!”
Hari Sabtu tiba. Hari yang sangat mengesankan karena batinku ternista luar biasa.
Kukira aku takkan pernah berhasil melukiskan pengalaman batinku secara memadai.
Hal ini mungkin karena aku tak mempunyai cukup kefasihan. Atau karena orang
takkan bisa percaya akan penderitaan batin seorang anak Dukuh Paruk yang bernama
Rasus, yang dalam hidupnya mempunyai emak hanya dalam angan-angan. Srintil,
yang entah bagaimana dalam banyak hal kuanggap sebagai jelmaan Emak, sore nanti
akan dirusak. Kukatakan begitu meski sesungguhnya tidak demikian. Bagiku, setelah
Srintil dijual dengan harga sebuah ringgit emas, dia bukan Srintil lagi, melainkan
seorang ronggeng Dukuh Paruk. Tidak lebih. Hanya seorang ronggeng Dukuh Paruk
takkan dapat kuandaikan sebagai diri Emak.
Serasa aku akan kehilangan emak buat kali kedua. Andaikan ada orang percaya akan
kegetiran yang melanda hatiku. Atau andaikan ada orang yang mau kuajak berbicara
tentang masalah ini, boleh jadi kesedihanku bisa terbagi. Tetapi hanya dirikulah yang
tahu dan merasakan segalanya. Bahkan aku begitu yakin Srintil tidak tahu persis
kemalangan apa yang kurasakan bila dia sudah terbeli dengan sebuah ringgit emas.
Seperti pernah dikatakannya kepadaku, Srintil lahir di Dukuh Paruk untuk menjadi
ronggeng. Maka dengan rela hati dia akan menjalani malam bukak-klambu, apa pula
dengan kemungkinan baginya memiliki ringgit emas.
Katakanlah pagi itu seperti biasa aku keluar melepaskan kambing-kambing. Tetapi
sesungguhnya binatang-binatang itu telah lama kutelantarkan. Pagi itu pun aku tak
peduli kambing-kambingku memasuki ladang orang. Aku sendiri duduk di pinggir
kampung memandang amparan sawah yang penuh air.
Di atasku, pada pucuk pohon sengon, hinggap tiga ekor burung keket. Satu jantan,
satu betina dan anak mereka yang selalu mengibas-ngibaskan sayap minta makan.
Salah seekor induk burung itu segera menukik ke bawah bila melihat capung atau
belalang terbang, kemudian hinggap lagi di tempat semula. Serangga tangkapan
dihancurkannya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak mereka. Citra
sebuah keluarga yang utuh.
Kukira Emak pun akan berlaku seperti induk burung keket itu. Dia akan melindungiku,
mencarikan makan selagi aku masih kanak-kanak. Bersama Ayah, Emak akan
mengajakku bercengkerama seperti keluarga burung keket itu. Nah, hal itu hanya
terjadi dalam angan-angan. Seperti belasan anak Dukuh Paruk lainnya, aku telah
yatim-piatu sejak anak-anak. Keparat, malapetaka tempe bongkrek itu.
Kukira kicau burung keket serta bunyi air yang tumpah lewat punggung pematang
akan terus membawaku melamun bila Warta tidak datang mengusik.
“Nah. Kulihat kau lama sekali termenung di situ. Nenekmu tidak menanak gaplek pagi
ini?” ujar Warta. “Misalnya demikian apa salahnya kita mencari talas dan kita bakar di
sini?”
“Aku tak ingin makan,” jawabku tak peduli.
“Jadi?”
“Pergilah. Jangan ganggu aku.”
“Baru kali ini kudengar engkau mengusirku, Rasus. Aku ingin tahu apa yang
sebenarnya sedang kaupikirkan.”
“Itu urusanku. Misalkan kuberi tahu, kau takkan dapat menolongku. Tapi aku takkan
mengatakan apa-apa kepadamu. Jadi, baik urusi kambingmu.”
“Wah, kalau begitu aku bisa menebak. Rasus, kau tak perlu mungkir. Kau sedang
termakan pekasih yang dipasang oleh Nyai Kartareja pada diri Srintil, bukan? Hayo,
baik mengaku! Kepadaku kau akan sia-sia menyimpan rahasia.”
Aku tertawa meskipun terdengar tawar. Tengik betul, Warta menebakku dengan jitu.
Melihat ulahku Warta tahu aku telah mengaku. Tawanya terdengar keras sekali.
“Oh kasihan kawanku ini. Kau senang akan Srintil, tetapi nanti malam ronggeng itu
dikangkangi orang. Wah...”
“Bangsat engkau, Warta.”
“Bagaimana? Bukankah aku berkata tentang kebenaran?”
“Ya. Tetapi kau jangan menambah sakit hatiku.”
“Rasus, kau boleh sakit hati. Kau boleh cemburu. Tetapi selagi kau tak mempunyai
sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia-sia.”
“Ya, kawan. Namun sesungguhnya kau dapat memberi sedikit hiburan padaku.
Bertembanglah. Seperti biasa.”
Tidak sulit membuat Warta mau bertembang bila orang mau menyediakan setumpuk
kata pujian baginya. Di antara sesama anak Dukuh Paruk, Warta dikenal mempunyai
suara paling bagus. Tembang kegemarannya juga menjadi kegemaran setiap anak di
pedukuhan itu, sebuah lagu duka bagi para yatim-piatu. Orang takkan menemukan
siapa penggubah lagu itu yang mampu mewakili nestapa anak-anak yang di dunia
tanpa ayah dan emak.
Lagu yang menjadi terkenal di Dukuh Paruk semenjak belasan anak kehilangan kedua
orang tua akibat racun tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu.
Bedug tiga datan arsa guling
Padang bulan kekencar ing latar
Thenguk-thenguk lungguh dhewe
Angine ngidid mangidul
Saya nggreges rasaning ati
Rumasa yen wus lola
Tanpa bapa biyung
Tanpa sanak tanpa kadang
Urip sengsara tansah nandhang prihatin
Duh nyawa gondelana...
Pukul tiga dinihari, aku belum mau terlena. Bulan menabur cahaya di halaman, selagi
aku termangu seorang diri. Angin yang berembus ke selatan membuat hati semakin
merana. Beginilah awak yang telah sebatang kara. Tiada ayah-bunda, tiada sanaksaudara.
Hidupku yang papa selalu dirundung derita. Oh, nyawa bertahanlah kau di
badan...
Warta sudah beratus kali menembangkan lagu itu. Dia tidak lagi tertarik akan makna
liriknya. Hanya irama lagu itu yang kiranya akan tinggal abadi di hati Warta dan anakanak
lain di Dukuh Paruk. Selesai menembangkan lagu itu Warta menoleh kepadaku.
Dia melihat aku menggigit bibir, dan mungkin mataku berkaca-kaca.
“Lho?” ujar Warta tak mengerti. “Apa pula arti semua ini?”
“Tidak apa-apa, Warta. Percayalah, sahabatku, tak ada yang salah pada diriku. Aku
terharu. Suaramu memang bisa membuat siapa pun merasa begitu terharu.”
“Hanya itu? Bagaimana dengan Srintil yang akan diperkosa nanti malam?”
Jangkrik!
Meski aku menanggapi kata-kata Warta dengan senyum, namun sesungguhnya hatiku
dibuatnya perih, sangat perih. Sehingga aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya
umpatku dalam hati, “Warta, kamu bangsat! Kau katakan Srintil akan diperkosa nanti
malam? Memang betul. Tetapi mengapa kaukatakan hal itu kepadaku?”
Kukira Warta memandangku dari belakang ketika aku berjalan meninggalkannya. Aku
tak peduli dan terus berjalan sepembawa kakiku. Perjalanan yang tanpa tujuan
membawaku sampai ke lorong yang menuju pekuburan Dukuh Paruk. Seharusnya aku
terus melangkah bila tidak kulihat seseorang berjalan merunduk-runduk di antara
batang-batang puring. Srintil! Aku tak mungkin salah, dialah orangnya.
Tak mengetahui aku membuntutinya, Srintil terus berjalan. Langkahnya berkelok
menghindari tonggak-tonggak nisan, atau pohon kemboja yang tumbuh rapat. Setelah
berbelok ke kiri, langkah Srintil lurus menuju cungkup makam Ki Secamenggala.
Kulihat Srintil jongkok, menaruh sesaji di depan pintu makam. Ketika bangkit dan
berbalik, ronggeng itu terperanjat. Aku berdiri hanya dua langkah di depannya.
“He, kau, Rasus?”
“Aku mengikutimu.”
“Aku disuruh Nyai Kartareja menaruh sesaji itu. Bukankah malam nanti...”
“Cukup! Aku sudah tahu malam nanti kau harus menempuh bukak-klambu,” aku
memotong cepat. Habis berkata demikian aku melangkah pergi. Tetapi Srintil menarik
bajuku.
“Rasus, hendak ke mana kau?”
“Pulang.”
“Jangan dulu. Jangan merajuk seperti itu. Kita bisa duduk-duduk sebentar di sini.”
Ternyata aku tak menolak ketika Srintil membimbingku duduk di atas akar beringin.
Tetapi baik Srintil maupun aku lebih suka membungkam mulut. Mestilah ronggeng
kecil itu merasa sedang menghadapi seorang anak laki-laki yang akan mengalami
kekecewaan. Srintil pasti tahu aku menyukainya. Jadi dia tahu pula bahwa malam
bukak-klambu baginya menjadi sesuatu yang sangat kubenci. Hanya itu. Atau, apakah
aku harus mengatakan secara jujur bahwa Srintil lebih kuhormati daripada seorang
kecintaan? Tidak. Aku tak mempunyai keberanian mengatakan hal itu kepadanya.
Maka biarlah, Srintil tetap pada pengertiannya tentang diriku secara tidak lengkap.
Seekor serangga kecil akhirnya membuka jalan bagi permulaan percakapan kami.
Nyamuk belirik hinggap di pipi Srintil. Perutnya menggantung penuh darah.
“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi tepuklah pipi kananmu agak ke atas pasti kena.”
“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”
“Tanganku kotor.”
“Tidak mengapa. Hayo tepuklah!”
Aku patuh. Tangan kuayunkan. Meski dengan gerak gamang, nyamuk yang menjadi
lamban karena terlalu banyak mengisap darah itu kena.
Telapak tangan kutekan pada pipi Srintil. Ketika kubuka tergores setitik darah. Ada
noda merah pada pipi yang putih.
Sunyi dan sepi. Sepotong ranting kecil runtuh. Bunyi keletik terdengar ketika ranting
itu menimpa selembar daun. Seekor bengkarung muncul di hadapanku, dan berlari
cepat mengejar capung yang hinggap di tanah. Kelengangan berlanjut karena aku dan
Srintil membisu kembali. Angin bertiup lambat. Suara belalang kerik menyambutnya
dari lereng sempit di sebelah selatan pekuburan.
Entah Srintil. Tetapi aku dalam kelengangan pekuburan Dukuh Paruk merasa menjadi
sekedar seonggok benda alam. Tiada beda dengan batu-batu berlumut di hadapanku,
atau dengan berpuluh nisan cadas yang terpaku mati dan terserak memenuhi
pekuburan itu. Boleh jadi pada saat itu akal-budiku berhenti. Kehendak alami
menggantikannya.
Aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil merangkulku, menciumiku. Napasnya
terdengar cepat. Kurasakan telapak tangannya berkeringat. Ketika menoleh ke
samping kulihat wajah Srintil tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil
dengan keadaan seperti itu. Meski aku tidak berpengalaman, tetapi dapat kuduga
Srintil sedang dicekam renjana birahi. Tanpa melepas lingkaran tangannya di
pundakku, Srintil menoleh sekeliling. Dia was-was ada orang lain di sekitar tempat itu.
Sebenarnya Srintil tak usah terlalu curiga. Pohon-pohon puring dan kemboja yang
mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk menjadi pagar yang sangat rapat.
Srintil melepaskan rangkulannya. Kemudian aku mengerti perbuatan itu dilakukannya
agar Srintil dapat membuka pakaiannya dengan mudah.
Aku sering melihat perempuan mandi telanjang di pancuran. Jadi aku sudah tahu beda
tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Tetapi yang kulihat saat itu adalah gambaran
perempuan yang utuh. Hanya tidak seperti perempuan dewasa, dada Srintil rata,
pinggangnya rata.
Bahwa Srintil mengharap aku juga akan membuka pakaian, sudah kumengerti.
Andaikata aku adalah Darsun atau Warta, semuanya sudah kulakukan. Malah aku
menjadi pihak pertama yang mengambil prakarsa. Nah, aku bukan Darsun, bukan pula
Warta. Aku Rasus, anak yang merasa paling malang karena Emak lenyap tanpa
kepastian. Emak mati oleh racun tempe bongkrek kemudian mayatnya dicincang, atau
emak masih hidup dan meninggalkan aku, lari bersama mantri keparat itu. Tidak pasti
mana yang benar. Dan ketidakpastian itu selalu membuatku hampir gila.
Rasanya, sebagai anak laki-laki tak ada yang salah pada tubuhku. Melihat Srintil
telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang birahi.
Jantung memompa darahku ke segala penjuru. Pada bagian organ tertentu, arteri
begitu padat berisi darah hingga menggembung dan menegang. Kehendak alam terasa
begitu perkasa menuntutku bertindak.
Srintil menarik tanganku.
Kupandangi wajahnya yang merona merah. Kupandangi matanya yang berkilat-kilat.
Kupandangi pucuk hidungnya dengan bintik-bintik keringat di pucuknya. Kemudian
perlahan semua yang tertangkap oleh lensa mataku bergoyang, lalu membaur.
Bayangan sosok Srintil melenyap. Yang muncul menggantikannya adalah halimun.
Aku percaya; hanya aku yang sejak anak-anak mengkhayalkan demikian dalamnya
tentang seorang emak karena aku sangat ingin melihatnya. Khayalan demikian yang
hampir sepanjang usia, akhirnya mampu mendatangkan ilusi; bahwa yang berdiri
telanjang di depanku bukan Srintil, bukan pula ronggeng Dukuh Paruk, melainkan
perempuan khayali yang melahirkan diriku sendiri. Di sana, di bagian dada kulihat
sepasang puting di mana aku menetek hampir selama dua tahun. Di sana, di balik
pusar, aku pernah bersemayam selama sembilan bulan dalam rahimnya. Dan ketika
aku melihat jalan yang kulewati ketika lahir, mataku berkunang-kunang. Badanku
basah oleh keringat dingin. Kemudian aku tak bisa berbuat lain kecuali menutup muka
dengan dua telapak tangan.
“Rasus, kau tak mau?” tanya Srintil dengan suara hampir tak kudengar. “Takkan ada
orang melihat kita di sini.”
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa
kualat nanti,” jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku.
Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah.
Terkesan rasa kecewa. Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan
di belakangnya. Tanpa gerak.
“Kita tak bisa berbuat sembrono di tempat ini,” kataku sambil membenahi pakaian
Srintil.
“Ya, tetapi kau sungguh bangsat.”
“Maafkan aku, Srin. Sungguh! Aku minta engkau jangan marah kepadaku,” kataku
menirukan cara seorang kacung yang minta belas-kasihan kepada majikannya.
Dengan sabar kutunggu sampai Srintil tenang kembali. Mukanya yang tegang
perlahan-lahan kembali seperti biasa.
“Ya, Rasus. Aku tidak marah.”
“Begitulah seharusnya. Apalagi bila kita mengingat ceritera itu.”
“Kau benar. Untung kau memperingatkan aku. Kalau tidak, entah apalah jadinya.”
Ceritera yang kumaksud adalah sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh Dukuh
Paruk. Konon menurut dongeng tersebut pernah terjadi sepasang manusia mati di
pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena kutuk setelah berjinah di
atas makam Ki Secamenggala. Semua orang Dukuh Paruk percaya penuh akan
kebenaran ceritera itu. Kecuali aku yang meragukannya dan mencurigainya hanya
sebagai salah satu usaha melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh
Paruk itu.

Tak kusadari betul berapa lama aku berdua Srintil berada di dalam kelengangan
pekuburan Dukuh Paruk. Dari tempatku duduk aku tak melihat matahari. Kerimbunan
beringin menghalanginya. Meski tak tahu hendak berbuat apa, kukira kami masih akan
tinggal lama di pekuburan itu. Tetapi aku mendengar sayup-sayup orang memanggil.
Aku tak lupa, itulah suara Nyai Kartareja.
“Aku harus pulang, Rasus. Nyai Kartareja memanggilku. Sudah terlalu lama aku
pergi.”
Hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan sebagai tanggapan. Srintil bangkit,
kemudian berjalan berkelok-kelok menghindari tonggak-tonggak nisan. Rumpunrumpun
puring bergoyang tersibak oleh Srintil yang berjalan cepat. Kupu-kupu
berterbangan dari pohon kemboja yang sedang berbunga. Aku berdiri memandang
Srintil yang tampak dan hilang terhalang pepohonan. Sampai di tempat terbuka
tampaklah ronggeng itu berlari. Rambutnya terburai ke belakang. Ada sesuatu terasa
lenyap dari hatiku, dan aku tak tahu benar apakah itu.
Sore hari paling getir yang pernah kualami. Pulang dari pekuburan aku tidak masuk ke
rumah. Nenek yang memanggil-manggil karena hidangan bagiku terbengkalai sejak
siang tak kuhiraukan. Aku duduk dekat kandang kambing memperhatikan burungburung
bluwak yang pulang ke pucuk-pucuk bambu di Dukuh Paruk. Atau lengkung
bianglala di langit sebelah barat. Pagelaran alam yang damai dan indah. Tetapi aku
tidak bisa menikmatinya. Sebuah sisi di hatiku yang mampu menangkap bentukbentuk
keindahan tertutup oleh rasa gelisah karena beberapa jam mendatang Srintil
bukan lagi Srintil.
Aku sadar betul diriku terlalu kecil bagi alam, bahkan bagi Dukuh Paruk yang sempit
itu. Maka segalanya berjalan seperti biasa. Kusaksikan matahari tenggelam. Puluhan
ekor kampret dan kalong kcluar mendaulat langit Dukuh Paruk menggantikan burung
layang-layang dan burung-burung lainnya. Pelita-pelita kecil mulai dinyalakan
menerangi beranda-beranda yang berbatas dinding bambu. Nyamuk dan agas terbang
berputar-putar mengelilingiku. Hari benar-benar telah menjadi gelap, dan aku
bergerak masuk ke rumah.
Dukuh Paruk seperti hendak berangkat tidur. Anak-anak tak satu pun kelihatan.
Bahkan suara mereka tiada lagi terdengar. Hanya sesekali terdengar keributan kecil di
kandang kambing. Mereka gelisah oleh sengatan nyamuk. Atau mereka melihat
sepasang mata yang berkilau kebiru-biruan dalam gelap; mata seekor kucing liar.
Kedua puluh tiga rumah di Dukuh Paruk sudah kelihatan sepi, kecuali rumah Kartareja.
Di rumah dukun ronggeng itu sudah beberapa malam lampu besar dinyalakan. Nyai
Kartareja telah selesai mendandani Srintil dengan kain dan baju baru. Rambutnya
disanggul. Kartareja menyalakan pedupaan, yang diletakkannya di sudut halaman.
Sebuah gayung dengan tangkainya yang tertanam di dalam tanah juga ada di sana.
Celana kolor bekas, kutang bekas serta pakaian dalam lainnya dilemparkan ke atas
genting. Selesai dengan pekerjaan itu, Kartareja berdiri di tengah halaman dengan
wajah menatap langit. Dukun ronggeng itu sedang melakukan ritus penangkal hujan.
Aku sedang duduk di atas lincak di beranda. Gelap, karena aku malas menyalakan
lampu. Dari jalan sempit yang menuju rumah Kartareja kudengar lenguh seekor
kerbau. Malam hari ada orang menuntun kerbau, adalah hal yang tidak biasa terjadi di
Dukuh Paruk. Apalagi di pedukuhan itu tak seorang pun mampu memelihara ternak
tersebut. Ketika melewati depan sebuah rumah iring-iringan itu tampak jelas. Kukenali
betul siapa penuntun kerbau itu: Dower. Seorang perjaka dari kampung Pecikalan
menuntun seekor kerbau menuju rumah Kartareja. Segera kuduga hal ini bersangkutpaut
dengan acara bukak-klambu malam ini. Kain sarung kusambar dari sampiran, lalu
aku berjalan mengendap ke rumah dukun ronggeng itu dari arah belakang. Sampai di
sana kulihat ternak besar itu telah tertambat di samping rumah Kartareja. Seperti
malam kemarin, aku ingin mendengarkan percakapan antara Kartareja dan Dower.
Maka aku berjingkat ke emper samping. Dari celah dinding bambu aku mengintip ke
dalam. Dower dengan bajunya yang baru duduk di hadapan tuan rumah. Srintil tidak
kelihatan. Namun aku mendengar bisik-bisik antara Nyai Kartareja dengan ronggeng
itu.
Sambil mengusap wajahnya yang berkeringat, Dower membuka pembicaraan.
“Aku datang lagi, Kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang kubawa, kuharap
engkau mau menerimanya.”
“Lho. Bukan sebuah ringgit emas?” tanya Kartareja.
“Bukan, Kek.”
“Apa? Ringgit timah?”
“Seekor kerbau betina yang besar. Binatang itu paling tidak bernilai sama dengan
sebuah ringgit emas,” kata Dower menerangkan. Namun Kartareja menyambutnya
dengan senyum kecut, bahkan menyepelekan. Dower menjadi gelisah dalam
duduknya.
“Tetapi ringgit emas bisa masuk saku celana. Bagus, tidak kotor dan aku takkan
disusahkannya dengan urusan kandang, rumput serta bau busuk,” ujar Kartareja
sambil membuang muka.
“Kau memang benar, Kek. Tetapi bila dua buah rupiah perak yang kujadikan panjar
menjadi milikmu, kukira pemberianku cukup, lebih dari cukup. Bagaimana?”
Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa menang. Seekor
kerbau betina yang besar ditambah dengan dua keping rupiah perak. Dukun ronggeng
itu terbahak dalam hati. Hanya karena Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia
dapat mengendalikan perasaannya.
“Tetapi bagaimana juga kau tak bisa kuanggap telah mencukupi syarat yang
kutentukan. Seekor kerbau dan dua buah rupiah perak tidak sama dengan sebuah
ringgit emas.”
“Jadi engkau menolak, Kek?” tanya Dower gelisah.
“Ya. Kecuali...”
“Kecuali apa?” potong Dower cepat.
“Kecuali kau mau hanya menjadi cadangan. Bila sampai tengah malam nanti tak ada
orang lain membawa ringgit emas kepadaku, maka kaulah pemenangnya. Kalau kau
menolak, silakan terima kembali dua rupiah perak ini. Bawalah pula kerbaumu itu.”
Dower tidak menyangka Kartareja akan menolak dengan kata-kata sekeras itu.
Perjaka Pecikalan tergagap. Bukan main kecewa hatinya. Dower merasa telah
melakukan segala usaha agar bisa memenangkan sayembara bukak-klambu, tidur
semalam-malaman di atas tempat tidur empuk bersama ronggeng Dukuh Paruk yang
masih perawan. Teringat kembali oleh Dower bagaimana dia mendongkel lemari milik
orang tuanya untuk mencuri uang rupiah perak itu. Tentu Dower teringat pula
pengalaman siang tadi. Dengan gemilang dia berhasil mengecoh ayahnya. Dari sawah
kerbau milik ayahnya yang paling besar dituntun pulang. Bukan dimasukkannya ke
dalam kandang, melainkan terus dibawanya ke Dukuh Paruk. Kini Dower merasa
segala akal busuknya belum tentu membuahkan hasil. Bahkan bayangan kegagalan
muncul di depan matanya. Dalam hati, Dower mengutuk Kartareja dengan sengit. “Si
Tua Bangka ini sungguh-sungguh tengik!”
Dari tempat gelap di balik dinding aku bisa merasakan kekakuan antara Dower dan
Kartareja. Di antara keduanya tidak terjadi percakapan lebih lanjut. Dower merasa
berat menerima syarat baru yang dikatakan oleh Kartareja. Sebaliknya dukun
ronggeng itu tidak hendak mundur dari pendiriannya.
Kebekuan di beranda rumah Kartareja berakhir. Di halaman kelihatan seorang muda
datang dengan sepeda berteromol. Dower langsung tahu siapa pemuda itu. Dari suara
sepedanya Dower telah memastikan kedatangan Sulam. Hati pemuda Pecikalan resah
karena dia tahu seorang saingan tangguh telah datang. Sebaliknya, Kartareja
tersenyum. Dia juga kenal siapa Sulam adanya; anak seorang lurah kaya dari
seberang kampung. Meski masih sangat muda Sulam dikenal sebagai penjudi dan
berandal. Seorang seperti Kartareja tidak merasa perlu mencari orang-orang alim. Dia
hanya memerlukan sebuah ringgit emas sebagai nilai keperawanan Srintil.
Sulam melangkahi ambang pintu dengan caranya sendiri. Ucapan salam tak perlu
baginya. Kebanggaan menjadi anak seorang lurah dibawanya ke mana-mana. Tetapi
Sulam berhenti dan tertegun sejenak ketika dilihatnya seorang pemuda lain sudah
duduk di hadapan Kartareja. Saling tatap antara Dower dan Sulam terjadi sejenak.
Melalui sorot mata masing-masing mereka saling mengejek.
“Ada anak Pecikalan di sini?” kata Sulam angkuh. Sebelum tuan rumah menjawab,
Dower menyahut lebih dahulu.
“Ya! Mengapa? Aku telah menyerahkan seekor kerbau dan dua buah uang rupiah
perak. Semua itu bernilai lebih dari pada sebuah ringgit emas,” kata Dower bangga.
Keterangan ini membuat Sulam penasaran. Dia tidak percaya.
“Betul kata anak Pecikalan ini, Kek?” tanya Sulam kepada Kartareja. Kakek itu tidak
segera memberi jawaban. Tanpa melihat kepada Sulam maupun Dower, kemudian
Kartareja berkata.
“Dower tidak berbohong. Tetapi duduklah dulu. Kau belum mengatakan maksud
kedatanganmu ke rumah ini.”
“Lho. Kau menyelenggarakan bukak-klambu malam ini, bukan?” tanya Sulam masih
dengan caranya yang angkuh.
“Betul.”
“Nah, mengapa kau bertanya maksud kedatanganku. Kaukira aku akan datang kemari
bila kau tidak menjamuku dengan ronggeng itu?”
“Baiklah. Bila demikian katamu, pasti kau sudah siap dengan sebuah ringgit emas,”
ujar Kartareja.
“Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja
aku membawa sebuah ringgit emas itu. Bukan rupiah perak, apalagi seekor kerbau
seperti anak Pecikalan ini,” ujar Sulam sambil melirik ke arah Dower. Yang dilirik
tersengat hatinya lalu membalas keras.
“Sulam! Kau boleh pongah kepada siapa pun tetapi jangan kepadaku. Yang hendak
kuserahkan kepada Kartareja lebih mahal daripada sekedar sebuah ringgit emas. Dan
kau Kartareja! Alangkah dungu bila kau menolak pemberianku dan menerima
pemberian Sulam.”
“Eh? Engkau marah? Kaulah yang dungu! Kartareja hanya meminta ini sebagai syarat,
bukan yang lain-lain, apa pun bentuknya,” ujar Sulam sambil membantingkan uang
logam kuning ke atas meja. Kemilau cahayanya.
“Berilah lebih banyak bila kau memang kaya,” tantang Dower.
“Bila sejak semula Kartareja menghendaki lebih banyak, dua ringgit emas misalnya,
pasti kupenuhi. Kau anak Pecikalan jangan banyak cakap. Pulanglah! Gembalakan
kerbaumu di sawah.”
“Sulam. Jangkrik kamu!”
Dua pemuda itu bangkit dan saling pandang dengan sinar mata kemerahan. Baik
Sulam maupun Dower sudah mengepalkan tinju. Tetapi Kartareja tetap tenang. Dia
hanya melepaskan rokok dari bibir.
“Sabarlah, Anak muda. Duduklah di tempat masing-masing. Kita akan berbicara baikbaik.”
“Aku hanya mau duduk kembali setelah anak Pecikalan ini enyah dari sini,” seru Sulam
keras.
“Jangan suruh aku duduk kecuali kau sudah mengakui pemberianku lebih banyak
daripada pemberian Sulam. Kartareja, kau jangan bodoh!”
Melihat ketegangan semakin menjadi-jadi, Kartareja bangkit dan berdiri di antara
kedua tamunya. Nyai Kartareja keluar. Srintil muncul sebentar di pintu lalu surut
kembali. Kedua pemuda yang sedang bersitegang sempat melihatnya. Aneh. Setelah
melihat Srintil kemarahan Dower dan Sulam mereda.
“Oh, kalian bocah bagus,” kata Nyai Kartareja. “Jangan bertengkar di sini. Aku
khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan. Ayo bocah bagus,
duduklah. Kalau kalian terus berselisih, pasti Srintil merasa takut. Bagaimana bila
nanti dia tidak bersedia menjalani bukak-klambu?”
Oleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan
Sulam dan Dower. Keduanya duduk kembali, masing-masing dengan wajah kecut.
Hening. Kartareja duduk termangu. Dahinya berkerut-kerut, membuktikan ada sesuatu
yang sedang dipikirkannya. Kemudian kakek itu bangkit berdiri. Kata-katanya
terdengar pelan penuh wibawa.
“Kalian datang membawa persoalan ke rumah ini. Kalau kalian tidak ingin aku
membatalkan rencana, beri kami kesempatan memecahkan persoalan itu. Hendaknya
kalian mau diam sebentar di tempat masing-masing. Jangan mencoba bertengkar
kembali. Aku hendak bermusyawarah sebentar di dalam.”
“Ya, kalian harus menurut. Ingat, Srintil masih sangat muda. Dia tidak biasa
mendengar keributan,” sambung Nyai Kartareja.
Kakek dan nenek itu masuk ke dalam meninggalkan kedua tamunya yang masih
membisu di atas lincak. Antara keduanya sering terjadi saling curi pandang. Tidak
lebih. Mereka termakan oleh gertak Kartareja yang mengancam akan membatalkan
malam bukak-klambu.
Di ruang dalam suami-istri itu tidak melihat Srintil. Tetapi mereka tidak berpikir jauh.
Paling-paling Srintil sedang tertelungkup di dalam biliknya dengan hati berdebardebar.
Bila demikian Nyai Kartareja dapat memahami perasaan gadis itu. Dia masih
perawan.
“Ambil dua cangkir,” perintah Kartareja kepada istrinya.
“Kau mau apa?”
“Lihatlah nanti.”
Kartareja mengeluarkan botol-botol dari lemari. Sebuah masih penuh berisi ciu.
Sebuah lagi hanya berisi seperempatnya. Isi botol yang kedua ini ditambah dengan air
tempayan hingga penuh. Kepada istrinya yang datang membawa dua buah cangkir,
Kartareja memerintahkan menghidangkan minuman keras itu kepada Sulam dan
Dower.
“Jangan keliru! Yang asli buat Sulam. Lainnya buat Dower,” kata Kartareja. Istrinya
tersenyum.
Walaupun tidak selicik Kartareja, namun perempuan itu sudah dapat menduga ke
mana maksud tindakan suaminya.
Bau alkohol tercium oleh Sulam dan Dower. Kegelisahan dan minuman keras. Dua hal
yang ditemui menjadi sahabat di mana-mana. Baik Sulam maupun Dower ingin
secepatnya mereguk isi botol yang disodorkan oleh Nyai Kartareja. Apalagi setelah
perempuan itu berkata menantang. “Bocah bagus yang paling gagah adalah siapa
yang lebih dulu menghabiskan minuman keras ini.”
“He, Nyai. Tetapi mengapa kau hanya menyediakan sebotol buatku? Tambah lagi
barang dua-tiga botol. Kau jangan harap akan ada sisa minuman di hadapanku nanti.”
Tidak berbeda gairahnya dengan Sulam, Dower menarik cangkir dan botol yang
tersedia baginya. Betapapun pemuda Pecikalan ini tak ingin disebut sebagai bocah
bagus kedua. Dalam hati Dower berkata, dirinya bukan anak kecil yang akan muntah
bila kerongkongan tersiram minuman keras.
Sulam telah mereguk isi cangkir pertama. Tanpa memperdulikan urat-urat tekaknya
yang mengerut, dia meneguk pula isi cangkir kedua. Dan seterusnya. Hanya dalam
beberapa saat sebotol ciu keras sudah mengendap dalam lambungnya. Mula-mula
Sulam merasa kulit wajahnya terjerang. Panas. Telinga berdenging. Badan terasa
ringan. Pandangan mata membaur. Lama-kelamaan dunia jungkir-balik di
hadapannya. Tetapi Sulam merasa tenaganya bertambah berlipat ganda.
Bersama suami-istri Kartareja, Dower yang sama sekali tidak mabuk ikut menyaksikan
Sulam yang mulai mengigau. Dalam dunia khayalnya Sulam melihat beribu bintang
jatuh dari langit. Telinganya mendengar suara tembang asmara. Di hadapannya
muncul Srintil mengajaknya bertayub. Bau ciu yang menguap dari mulut sendiri
dirasakannya sebagai wewangian yang dikenakan oleh ronggeng Dukuh Paruk itu.
Tergugah birahi Sulam. Terhuyung-huyung dia bangkit. Di tengah beranda dia mulai
berjoget. Nyai Kartareja yang berdiri di dekatnya tidak tampak oleh Sulam sebagai
seorang nenek-nenek. Perempuan tua itu kelihatan oleh Sulam sebagai Srintil yang
sedang mengajaknya bertayub.
Oleh suaminya Nyai Kartareja disuruh melayani Sulam yang sedang hilang ingatan.
Soal bertayub tak usah ditanyakan kepada istri dukun ronggeng itu. Dia sangat
berpengalaman. Jadilah. Teringat masa mudanya, maka Nyai Kartareja melayani
Sulam dengan sepenuh hati. Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget, bahkan diciumi
oleh Sulam.
Renjana yang menguasai Sulam tidak berlangsung lama. Ciu telah mutlak menguasai
semua organ tubuhnya. Gerakannya makin lamban, makin goyah. Ucapan cabul masih
sempat keluar dari mulut Sulam sebelum kedua lututnya terlipat, roboh dalam pelukan
Nyai Kartareja. Oleh dukun ronggeng yang dibantu Dower, Sulam diangkat dan
dibaringkan di atas lincak. Seekor kambing jantan telah dikalahkan oleh ciu dan tipu
daya.
“Beres,” kata Nyai Kartareja dengan napas tersengal-sengal.
“Ya, Nyai. Sekarang sudah beres,” jawab Kartareja.
“Engkau tidak mabuk, bukan?” tanya Nyai Kartareja kepada Dower.
“Tidak, Nek. Tidak.”
“Nah! Tunggu apa pula engkau ini?”
“Ah, apa maksudmu?” tanya Dower bingung.
“Si Dungu dari Pecikalan. Engkau tak mengerti aku bersusah payah membuat Sulam
mabuk? Sekarang kau kumenangkan.”
“Jadi? Jadi?”
“Ya. Kau boleh tidur bersama Srintil sekarang. Tetapi waktu terbatas sampai Sulam
tersadar. Tahu?”
“Ya, ya. Aku sudah tahu.”
Terdengar suara derit ketika Dower menutup pintu bilik yang berisi tempat tidur
berkelambu itu. Sepi. Suami-istri Kartareja masuk ke bilik mereka sendiri. Di sana
pasangan tua itu bergurau. Sebuah ringgit emas, dua rupiah perak dan seekor kerbau
sudah hampir di tangan.
***
Siapa yang akan menyalahkan Kartareja bila dukun ronggeng itu merasa telah menang
secara gemilang. Siapa pula yang akan menyalahkan Dower bila dia kelak berteriakteriak
bahwa dirinyalah yang telah mewisuda ronggeng Srintil. Sesuatu telah terjadi di
belakang rumah Kartareja sebelum Dower menyiapkan kelambu yang mengurung
Srintil. Hanya aku dan ronggeng itu yang mengetahui segalanya.
Waktu itu aku masih mengintip di emper samping ketika terdengar pertengkaran
mulut antara Dower dan Sulam. Sesaat kemudian aku melihat seseorang keluar dari
pintu belakang lalu jongkok di bawah pohon pisang. Dari sosok tubuhnya yang kecil
aku memastikan Srintil-lah yang keluar. Dengan berjalan berjingkat kudekati dia.
“Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. “Jangan terkejut. Aku Rasus.”
“Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit merangkulku sekuat tenaga. “Rasus.
Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”
“Sudah kencing?”
“Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang
diperjual-belikan.”
“Ya.”
Masih merangkulku kuat-kuat Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu
apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar.
“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh
menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena
kutuk. Kau mau, bukan?”
Sepatahpun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganku terasa tersekat. Karena gelap
aku tak dapat melihat dengan jelas. Namun aku merasakan Srintil melepaskan
rangkulan, kemudian sibuk melepaskan pakaian.
Tidak beda dengan pengalaman tadi siang di pekuburan Dukuh Paruk. Hanya ini
segalanya berlaku dalam gelap. Aku tidak dapat melihat sosok tubuh Srintil dengan
jelas, meski aku yakin saat itu dia sudah telanjang bulat.
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi.
Orang berpikir lebih primitif dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah perilaku primitif
memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak
muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan mengguruiku dan
Srintil. Boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah,
karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh.
Tidak lama. Kubantu Srintil mengenakan kembali pakaiannya. Kemudian dia kuantar
sampai ke pintu. Dengan mengintip lewat celah dinding dapat kulihat Srintil membuka
klambu dan rebah tertidur di sana. Aku sendiri pulang dengan berbagai perasaan
bercampur-aduk di hati.
Kelak Srintil berceritera kepadaku bahwa dia segera terjaga kembali ketika Dower
membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan. Srintil tidak mengatakan apa
yang dialaminya kemudian sebagai suatu perkosaan. Dia hanya berkata, sungguh
tidak mudah menempuh syarat menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk.
Setelah Dower keluar Srintil mendengar Nyai Kartareja berkata kepada pemuda
Pecikalan itu.
“Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak-klambu. Dua rupiah perak serta
kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas, bukan?”
Dower hanya tersenyum. Tercapai sudah keinginannya memperoleh sebutan sebagai
pemuda yang mewisuda ronggeng Srintil. Virgin atau tidak virgin ronggeng yang
ditidurinya, menjadi naif Dower.
“Nek, aku mau pulang sekarang,” katanya kemudian.
“Pulang? Nanti dulu!” jawab Nyai Kartareja. “Bila nanti Sulam terjaga dan tidak
melihatmu lagi di sini, dia akan merasa curiga. Tahu?”
“Ya. Oh rupanya kalian pasangan tua bangka yang licik dan tengik. Baiklah, aku mau
tidur di sini. Aku pun telah lelah dan ngantuk.”
Suasana di rumah Kartareja sunyi kembali meskipun suami-istri dukun ronggeng itu
tidak tidur. Srintil sendiri terbaring gelisah. Pelupuh lincak berderit-derit karena Dower
belum dapat memejamkan mata. Tetapi tak berapa lama kemudian segalanya diam.
Dower yang lelah dan lemas segera pulas.
Tengah malam Nyai Kartareja masuk ke bilik Srintil. Kelambu dibuka. Dengan sinar
pelita di tangannya perempuan itu melihat mata Srintil yang masih terbuka. Dengan
gaya memanjakan, Nyai Kartareja membelai rambut Srintil.
“Dua keping rupiah perak dan seekor kerbau besar telah menjadi milikmu. Kau sudah
menjadi anak yang kaya. Engkau merasa senang, bukan?” Srintil mengangguk
walaupun perutnya terasa sakit.
“Dan engkau masih akan menerima sebuah ringgit emas. Mau, bukan? Nanti bila
Sulam terjaga, dia akan masuk kemari.”
Mata Srintil terbuka lebar-lebar. Suaranya serak ketika dia bertanya kepada Nyai
Kartareja.
“Jadi aku harus melayani Sulam pula?”
“Tak mengapa, bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang memiliki ringgit
emas di Dukuh Paruk ini.”
“Tetapi perutku sakit, Nek. Amat sakit.”
“Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku. Semuanya tak
mengapa kaulakukan. Ingat, sebuah ringgit emas! Istirahatlah sekarang selagi Sulam
masih mendengkur.”
Srintil mengisak seorang diri. Baginya alangkah lambat waktu berjalan. Dia ingin hari
segera menjelang pagi. Dia ingin segera menemukan dirinya telah selesai menjalankan
bukak-klambu. Tak terpikirkan lagi soal ringgit emas atau lainnya. Yang dirasakannya
sekarang adalah perutnya yang bagai teriris-iris. Ronggeng itu tak akan menghentikan
tangis karena binatang jantan lainnya akan segera datang menyingkap kelambu dan
mendengus.
Di luar gerimis turun. Sesungguhnya Srintil hampir terlena bila tidak mendengar derit
lincak di beranda. Sulam menggeliat lalu melenguh. Semula Sulam akan kembali
memejamkan mata. Tetapi tiba-tiba mata pemuda itu terbuka selebar-lebarnya, lalu
bangkit. Dia duduk termangu seperti orang sedang bingung.
Nyai Kartareja keluar dari biliknya, melangkah mendekati Sulam.
“Oh, bocah bagus. Engkau sudah bangun?” tanya Nyai Kartareja semanis seorang ibu.
“Jam berapa sekarang, Nek?” kata Sulam sambil menggosok mata dengan punggung
tangan.
“Ah, masih sore,” tipu perempuan itu pula.
Ketika Sulam sadar betul apa tujuannya datang ke Dukuh Paruk, dia berkata sambil
bangkit berdiri.
“Jadi bagaimana ini. Bagaimana urusan tadi?”
“Oh tenanglah, Bocah bagus. Lihat, anak Pecikalan itu masih tertidur nyenyak. Engkau
jadi pemenang. Srintil menunggumu sekarang.”
“Ha? Di mana Srintil?” tanya Sulam bersemangat.
“Lho! Dia di dalam kelambu. Ayo, cepat. Jangan menunggu Dower terbangun.”
“Oh ya. Ya. Tetapi nanti dulu, Nek. Aku ingin kencing.”
***
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk.
Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit serta
sumpah-serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada
puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala
kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit,
tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil sekali
pun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang
diberikan alam.
Yang Mahaperkasa mencipta diriku dari intisari tanah Dukuh Paruk. Ketika aku mulai
mengerti bahwa diriku hidup, di dekatku ada seorang nenek, sebuah kandang berisi
tiga ekor kambing dan sekeranjang gaplek di sudut rumah kecil. Anak-anak sebaya
memanggil perempuan yang terdekat dengan sebutan emak. Tetapi perempuan tua
yang paling dekat denganku menolak bila kusebut demikian. “Panggil aku nenek,”
katanya. Pernyataan itu adalah tanda-tanya besar pertama yang menindih hatiku.
Untung, di Dukuh Paruk ada sekian belas anak yang seperti aku. Warta dan Darsun
bahkan aku kemudian tahu pula, Srintil juga tidak mempunyai emak. Ayah juga tak
pernah kulihat sejak aku lahir. Tetapi aku tidak begitu merisaukannya. Jangan
salahkan diriku karena aku tak tahu mengapa terjadi perasaan demikian.
Ceritera tentang malapetaka tempe bongkrek itu mulai terekam di hatiku sejak usiaku
lima atau enam tahun. Nenek dan orang-orang lainnya berceritera sebagian-sebagian,
sehingga bila kusambung akan tersusun kisah sebuah peristiwa kematian massal
secara lengkap. Termasuk di dalamnya keterangan yang sepotong-sepotong tentang
Emak. Ah, aku takkan mengulanginya lagi. Keterangan tentang Emak hanya berbekas
sebagai deraan batin yang berkepanjangan.
Dalam hatiku ada sebuah sisi yang kosong. Seharusnya ada Emak di sana. Aku yang
mengharuskannya demikian, namun tidak pernah menjadi kenyataan. Kekosongan
yang berkembang bersama pertumbuhanku sejak masa kanak-kanak, menciptakan
kegersangan dan kegelisahan. Kehausan melihat serta memiliki Emak telah membuat
noda dalam hidupku.
Tetapi Dukuh Paruk dan orang-orangnya di sana tak ada yang mengerti diriku yang
sakit. Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang
kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak
peristiwa malam bukak-klambu itu Srintil diseret ke luar dari dalam hatiku, Dukuh
Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah takkan memaafkannya.
Jadi ketika Dukuh Paruk bergembira-ria dengan suara calung dan joget Srintil yang
telah resmi menjadi ronggeng, aku malah mulai membencinya. Pengikat yang
membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali. Aku tidak lagi
mempunyai cermin tempat aku mencari bayang-bayang Emak. Sakitku terasa lebih
perih daripada saat aku belum mengenal Srintil.
Salah seekor kambing kutuntun ke luar Dukuh Paruk pada suatu pagi. Sebelum
berangkat aku berkata kepada Nenek, aku akan mencari paman di luar kampung dan
mungkin tidak kembali lagi. Nenek menangis. Terbata-bata Nenek meminta agar aku
tetap tinggal. “Siapa yang akan mengurusiku bila aku sakit dan mati,” katanya.
Nenek menjadi korban balas dendamku terhadap Dukuh Paruk. Dia kutinggalkan
bersama beberapa ekor kambing. Biarlah. Nenek adalah milik Dukuh Paruk. Kukira
Dukuh Paruk tetap mengakui Nenek sebagai warga sampai dia bergabung dengan Ki
Secamenggala di pekuburan.
Kambing kujual di pasar. Dengan uang penjualan itu aku hidup beberapa hari di
warung-warung. Perpindahanku dari warung satu ke warung lainnya terjadi bila
kudengar seorang pengunjung berceritera tentang malam bukak-klambu yang baru
diselenggarakan di Dukuh Paruk.
Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar memungkinkan aku mendapat
upah. Di Dukuh Paruk setiap anak berkenalan dengan singkong sejak lahir. Maka
pedagang itu terkesan betapa cepat aku mengupasi barang dagangannya. Selain
mendapat upah buat makan sehari-hari, aku menemukan sebuah tempat yang teduh
untuk menggelar karung-karung. Itulah tempat tidur yang kupakai selama berbulanbulan.
Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan.
Akan terbukti nanti, pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di
sana aku dapat melihat kehadiran orang-orang dari perkampungan dalam wilayah
kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan menjadi
tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut dan seterusnya.
Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu.
Jadi aku seperti masih tinggal di Dukuh Paruk laiknya.
Aku mendengar segala hal yang terjadi di pedukuhan itu, tanpa kehadiranku di sana.
Dukuh Paruk telah menemukan kembali keasliannya, dengan munculnya kelompok
ronggeng di bawah asuhan dukunnya yang terkenal, Kartareja. Keinginan Sakarya
maupun Kartareja agar Srintil menjadi ronggeng tenar, telah terlaksana. Boleh jadi
benar kata kedua orang tua itu, keris kecil yang kuberikan kepada Srintil ikut andil
dalam ketenaran Srintil. Entahlah.
Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja
dengan Nyai Kartareja. Sebelum ronggeng itu mendekat aku telah tahu kehadirannya
dari celoteh orang-orang di pasar itu.
“Itu dia, ronggeng Dukuh Paruk. Srintil memang cantik.”
“He! Betulkah di Dukuh Paruk ada gadis dengan kulit bersih, betis montok tanpa
kurap?”
“Srintil itulah buktinya. Wah, alangkah cepat besar dia.”
“Ah, jangan bodoh. Bau keringat laki-laki membuat setiap anak perempuan menjadi
cepat dewasa.”
“Lihat. Baru beberapa bulan menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tangan
Srintil. Bandul kalungnya sebuah ringgit emas pula,” kata seorang perempuan penjual
sirih.
“Kau sudah tahu dari mana ronggeng itu memperoleh bandul kalung seberat dua puluh
lima gram. Tetapi kau pasti belum tahu siapa yang memberi Srintil sebuah kalung,”
ujar perempuan lainnya.
“Dari lurah Pecikalan yang menggendaknya?”
“Salah. Lurah Pecikalan telah mengganti atap ilalang rumah Sakarya dengan seng. Dia
tidak memberi kalung kepada ronggeng itu.”
“Jadi siapa?”
“Le Hian! Itu Cina yang mempunyai kilang ciu tersembunyi di tengah kebun pisang.
Lihatlah, sebentar lagi Srintil akan memakai subang berlian. Atau akan memakai
gelang rangkap.”
“Ah, kau seperti tahu segala urusannya?”
“Mengapa tidak. Ada seorang siren wedana sedang menggendaknya. Bahkan kudengar
istri siten itu sudah menuntut cerai kepada suaminya.”
“Alangkah ampuh pekasih suami-istri Kartareja. Engkau harus mempercayainya
sekarang,” ujar tukang sirih itu pula.
“Ah, tanpa pekasih pun orang akan senang tidur bersama Srintil. Maka aku bisa
memahami bila Sulam rela kehilangan sebuah ringgit emas untuk memperoleh
keperawanan ronggeng itu,” kata orang laki-laki penjual tikar dari tempatnya.
Aku terperanjat mendengar kata-kata lelaki itu. Orang lain mengatakan Sulam-lah
orangnya yang mewisuda Srintil. Aku yakin pula Dower dengan caranya sendiri
menyatakan sebagai orang pertama yang tidur bersama ronggeng Dukuh Paruk.
Rupanya rahasia belum lagi bocor; hanya aku berdua Srintil yang mengetahui
segalanya. Tetapi kejadian di belakang rumah Kartareja itu tidak memberiku kesan
yang indah. Aku melakukannya sebagai tindakan spontanitas belaka.
Srintil sudah memasuki arena pasar.
Aku bersembunyi di balik onggokan singkong dan karung-karung. Semua pedagang di
pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. Penjual pakaian menawarkan
baju merah saga dengan harga luar biasa tinggi. Kalau tidak dicegah oleh
pengiringnya, Nyai Kartareja, Srintil akan membayarnya. Tanpa menawar. Penjual
benda manik-manik mengangkat dagangannya. Sebuah cermin ditawarkannya kepada
Srintil. Kali ini Nyai Kartareja tidak menghalangi ronggeng itu membeli kaca itu
bersama beberapa bungkus pupur dan minyak wangi.
Seorang perempuan tua berlari-lari dari arah belakang. Kepada Srintil disodorkannya
sehelai kutang.
“Aduh, wong ayu. Pakai kutang ini. Dadamu sudah kelihatan montok.”
“Berapa harganya, Nek?” tanya Srintil.
“Aku tak ingin berjualan kepadamu. Silakan pakai. Aku setiap saat berdiri di pinggir
arena bila kau sedang menari. Engkau pasti tidak tahu, bukan?”
Srintil membalasnya dengan tawa yang manja. Dipilihnya sebuah kutang berwarna
kuning menyolok, lalu diberikannya kepada Nyai Kartareja untuk dibawa. Bukan hanya
penjual kutang itu yang memberikan dagangannya dengan cuma-cuma kepada Srintil.
Masih banyak lagi. Seorang perempuan penjual buah memberikan mangga-mangga
yang masak dengan pengantar, “untuk penyegar bagimu yang terlalu banyak melek di
malam hari.” Tukang jamu cepat-cepat meramu dagangannya. “Supaya otot--ototmu
tetap kenyal. Laki-laki memang kurang ajar. Dia membenci apa-apa yang kendur!”
Bila para perempuan kelihatan tulus ikhlas memanjakan Srintil, tidak demikian dengan
para lelaki. Pak Simbar, penjual sabun di pasar Dawuan berkata dengan mata
bersinar-sinar kepada Srintil. “Eh, wong kenes, wong kewes. Aku tahu di Dukuh Paruk
orang menggosok-gosokkan batu ke badan bila sedang mandi. Tetapi engkau tak
pantas melakukannya. Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam
nanti kaubukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.” Berkata demikian, tangan
Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak
menepiskan tangan laki-laki itu. Bangsat!
Babah Pincang yang duduk hampir tenggelam di tengah dagangannya ikut berbicara.
Juga dengan wajah beringas dan mata berkilat.
“Nah. Aku punya sandal kulit. Mulah. Balang baik. Na, kamu olang tida pantas
beltelanjang- kaki. Betismu bagus. Bayal sandalku. Nanti aku juga mau bayal kalau
aku tidul di Dukuh Paluk.”
Seperti juga Pak Simbar, Babah Pincang juga gatal tangan. Bukan pinggul Srintil yang
digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini pun Srintil tak berusaha menolak. Bangsat lagi!
Onggokan singkong dan karung-karung tetap menyembunyikan diriku dari pandangan
Srintil sampai ronggeng itu keluar dari pasar. Di belakangnya, Nyai Kartareja
membawa keranjang yang sarat dengan barang belanjaan. Mata semua laki-laki
memandang ke sana: ke pinggul atau betis Srintil. Atau tengkuknya yang putih di
bawah rambut hitam yang tersanggul halus. Seruan cabul terdengar dari sudut-sudut
pasat Dawuan. Terkadang Srintil menoleh ke belakang dengan lirikan yang
mengundang birahi. Sementara para perempuan bergumam sambil berpura-pura sibuk
dengan dagangan masing-masing.
Terdengar bunyi lonceng sado dan derap kaki kuda. Srintil bersama Nyai Kartareja
meninggalkan pasar Dawuan. Sado akan mengantarkan mereka sampai ke ujung
pematang. Srintil dan pengiringnya akan berjalan di atas pematang itu sampai ke
Dukuh Paruk. Selama setengah jam keduanya akan disiram terik matahari tanpa
sebatang pohon pun meneduhi.
Di sarangku di balik onggokan singkong itu, aku masih mengenangkan Srintil. Bukan
dalam kenangan yang utuh dan melambung indah, melainkan dalam gambaran yang
mulai pudar. Srintil telah menjadi dirinya sendiri, dalam kedaulatan yang sulit kugugat.
Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat yang tiada
beda. Aku tahu betul Srintil berhak mencari sebutan apa pun yang dia sukai. Apalagi
Dukuh Paruk akan hambar tanpa calung dan ronggeng.
Memang dengan penampilan Srintil yang sekarang, aku mulai mendapat kesulitan
memperoleh secuil gambaran Emak pada dirinya. Emak memang perempuan Dukuh
Paruk. Sekali pun aku tak pernah membayangkan Emak bukan menjadi bagian
pedukuhan terpencil itu. Jadi Emak, seperti para perempuan Dukuh Paruk, tidak
mengharamkan persundalan. Dia, meski hanya hidup dalam angan-anganku, bukan
perempuan suci seperti yang kelak kubaca dalam buku-buku dongeng. Tetapi demi
rahim yang pernah membungkusku, aku tak tega membayangkan Emak sebagai
perempuan yang selalu ramah terhadap semua laki-laki. Yang tak pernah menepis
tangan laki-laki yang menggerayanginya. Tidak. Betapapun aku tak mampu berkhayal
demikian.
Pasar Dawuan sedikit demi sedikit merenggangkan hubunganku dengan Srintil. Bukan
hanya dalam arti lahir, terlebih-lebih dalam arti batiniah. Pasar Dawuan juga ternyata
memberikan cakrawala luas padaku tentang banyak hal. Dulu, dunia bagiku adalah
Dukuh Paruk dengan sumpah serapahnya, dengan kemelaratannya dan dengan
kecabulannya yang sah. Sampai hari-hari pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku
menganggap nilai-nilai yang kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di
semua tempat.
Ternyata tidak demikian. Pengalamanku dengan Siti akan membuktikannya. Lebih dari
itu, karena Siti secara tidak langsung mengajariku bahwa dunia perempuan takkan
terwakili oleh Srintil seorang.
Siti, seorang gadis seusia Srintil. Setiap pagi dia membeli singkong di pasar Dawuan.
Ibunya menjadi penjual berjenis-jenis makanan yang terbuat dari umbi akar tersebut.
Ibu Siti tidak berjualan di pasar itu. Tetapi di pasar Dawuan, orang dengan mudah
mendapat segala macam keterangan. Demikian, maka aku tahu banyak tentang Siti
dan ibunya.
Karena setiap pagi aku melayani Siti, maka aku mulai menyenanginya. Sikapnya yang
malu-malu dan hampir menutup diri sering merangsang diriku untuk menggodanya.
Sekali waktu aku tak berhasil mencegah tanganku yang lancang. Kerudung yang selalu
menutupi kepala Siti kusingkapkan. Putih pipinya dan keindahan tengkuknya tak
bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi putih itu.
Sedikit pun aku tak merasa bersalah berbuat demikian. Dukuh Paruk sepanjang usiaku
mengatakan perkara mencubit pipi sama sekali tidak tabu, apalagi dosa. Kata ‘dosa’
sendiri baru kudengar setelah aku meninggalkan Dukuh Paruk. Tetapi karena
kelancangan tangan itu aku mendapat pengalaman baru yang getir. Setelah kucubit
pipinya, Siti membeliakkan mata. Pipinya merah rona. Gadis itu terpaku sejenak
dengan tatapan mata menghunjam jantungku. Mula-mula aku senang karena dengan
pipi merah itu Siti bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari
dengan melemparkan singkong yang telah dibelinya.

Kejadian itu memancing tawa orang-orang di sekelilingku. Aku terpaku karena heran
dan terkejut. Hanya mencubit pipi. Apa yang luar biasa dalam perilaku sepele itu?
Bukankah di Dukuh Paruk aku sudah mencium pipi Srintil dan dia sama sekali tidak
marah, bahkan tertawa manja?
“He, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis Dukuh Paruk. Dia marah karena
menganggap kau memperlakukannya secara tidak senonoh,” kata seseorang, entah
siapa karena aku tak berani mengangkat muka.
“Lihat-lihatlah bila hendak menggoda seorang gadis, Rasus!” kata seorang lainnya. “Di
sini memang pasar. Perempuan yang datang berbelanja kemari tidak semua berasal
dari Dukuh Paruk. Seorang sundal pun, bila dia bukan perempuan Dukuh Paruk, akan
marah bila tersentuh pipinya di depan orang banyak. Meski hanya berpura-pura,
namun demikianiah adanya.”
Masih banyak celoteh lain yang kudengar. Tetapi aku tak bisa memperhatikan
semuanya. Aku sedang terlanda masuknya nilai baru ke dalam hati, bahwa soal
mencubit pipi di luar Dukuh Paruk bisa mendatangkan urusan. Lain benar keadaannya
dengan Dukuh Paruk. Di sana, seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila
suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami
tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga itu
dan menidurinya. Habis segala urusan! Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan
pengertian moral tanpa tetek-bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi
nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak pernah menimbulkan urusan. Di sana,
di Dukuh Paruk, aku juga tahu ada obat bagi perempuan-perempuan mandul. Obat itu
bernama lingga; kependekan dua kata - yang berarti penis tetangga. Dan obat itu,
demi arwah Ki Secamenggala, bukan barang tabu apalagi aneh. Tetapi mengapa hanya
karena aku mencubit pipi Siti, orang-orang menertawakanku?
Ah. Biarlah, bagaimana juga aku yang harus mengalah, dengan mulai belajar
menerima kenyataan, bahwa di luar tanah airku yang kecil berlaku nilai-nilai yang lain.
Banyak sekali. Misalnya kata umpatan “asu buntung”, yang bisa didengar setiap menit
di Dukuh Paruk tanpa akibat apa pun, merupakan kata penghinaan paling nista di luar
pedukuhan itu.
Pengalaman malam hari dengan perempuan-perempuan pasar Dawuan juga
memperluas cakrawalaku. Gadis-gadis warung di sekeliling pasar Dawuan kebanyakan
senang bergurau dengan para lelaki. Ulahnya tidak jauh berbeda dengan perempuan
Dukuh Paruk. Beberapa di antaranya mau menerima uangku dan tidak berkeberatan
kubawa pergi.
Tokh tidak semuanya demikian. Yang tercantik di antara mereka selalu menutup diri di
samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk.
Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata
mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bisa berharap pada suatu saat bisa
menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas
ketentuan itu adalah dosa besar. Nah, Rasus dari Dukuh Paruk belum mampu
memahami semuanya. Perkawinan yang sah, dosa besar, merupakan ungkapan yang
baru kudengar. Terserah pada sejarahku nanti apakah aku bisa menghayati pengertian
itu atau aku akan tetap didikte oleh nilai-nilai yang kukenal sejak di Dukuh Paruk.

Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu menilai
kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara secara
lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka hanya puas menjadi
buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman
keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang ronggeng meninabobokkan
Dukuh Paruk. Maka benar kata Sakarya, bagi orang Dukuh Paruk kehidupan
tanpa calung dan ronggeng terasa hambar. Calung dan ronggeng pula yang memberi
kesempatan mereka bertayub dan minum ciu sepuas-puasnya.
Pengenalanku atas dunia perempuan di luar Srintil juga membawa perubahan.
Kedudukannya sebagai idola serta cermin di mana aku mencari bayangan Emak lamalama
surut dan akhirnya lenyap sama sekali.
Sosok Emak yang kulukis dalam angan-angan selama bertahun-tahun, dengan berat
hati harus kumusnahkan. Dulu aku begitu yakin Emak mempunyai cambang halus di
pipi seperti Srintil. Atau lesung pipit di pipi kiri. Suaranya lembut dan sejuk dengan
senyum yang menawarkan duka seorang anak yang selalu merindukannya. Kulitnya
putih, dadanya subur di mana selama dua tahun aku bergantung menetek dan
bermanja.
Sungguh. Meski berat sekalipun gambaran tentang diri Emak harus kuhancurkan dan
menggantikannya dengan citra yang lain. Maka dalam pikiranku sudah kunyalakan api
pada setumpuk kayu bakar. Kubayangkan seorang perempuan kulemparkan dengan
tanganku sendiri ke atas kobaran api itu. Perempuan yang mempunyai segala
gambaran keagungan itu hangus dan lenyap dimakan api.
Sebagai gantinya muncul perempuan lain dengan ciri-ciri khas Dukuh Paruk. Rambut
kusut dengan ujung kemerahan. Wajah lesu dan pucat karena sehari-hari tidak cukup
makan. Sepasang tetek dengan puting hitam, hanya subur pada waktu panen.
Sepasang telapak kaki yang lebar dengan endapan daki melapisinya. Kata-katanya
kasar dengan selingan serapah cabul. Itulah gambar seorang perempuan Dukuh Paruk,
gambaran yang lebih masuk akal. Aku harus mulai belajar menerima kenyataan bahwa
sebagai perempuan Dukuh Paruk Emak memiliki ciri-ciri seperti itu pula. Seorang
mantri yang mau membawa lari perempuan seperti itu pastilah ada kelainan pada
dirinya. Kalau tidak sinting pastilah dia seorang laki-laki bajul buntung!
Nah, aku sudah mulai mempunyai gambaran seorang emak. Meski buruk, tetapi
bayangannya mudah kuperoleh pada hampir semua perempuan Dukuh Paruk. Atau
semua perempuan yang berbelanja atau berjualan di pasar Dawuan. Memang, Srintil
tetap tak bisa kulupakan. Kenangan bersamanya karena aku mengenalnya sejak masa
kanak-kanak, tidak mungkin hilang dengan mudah. Tetapi kedudukannya dalam
jiwaku, sedikit demi sedikit bergeser ke tempat yang lebih wajar. Boleh jadi kelak pada
suatu saat aku merindukannya, kemudian mencarinya atas panggilan birahi. Siapa
tahu pada suatu saat ada uang dalam jumlah cukup dalam sakuku. Tidak pernah
kudengar seorang ronggeng menolak kehendak laki-laki yang akan memberinya uang,
apalagi dalam jumlah banyak.
Bagaimana aku telah berhasil mendudukkan Srintil dalam kehidupanku secara
semestinya terbukti ketika beberapa bulan kemudian aku bertemu kembali di pasar
Dawuan. Sikap orang-orang pasar masih biasa. Ronggeng memang seorang
perempuan milik umum terutama bagi laki-laki. Bila Pak Simbar atau Babah Pincang
berani menggoda Srintil mengapa aku tidak. Aku tidak malu diketahui oleh Srintil
sebagai penjaga singkong milik orang lain. Tangan dan bajuku kotor. Di pasar aku
tidak pernah mandi kecuali kalau aku sedang tidak malas pergi ke sungai.
Maka ketika orang-orang menyambut kedatangan ronggeng Dukuh Paruk itu, aku pun
mendekat. Tanpa canggung sedikit pun Srintil kubimbing ke tempat yang lebih
longgar. Tak kupedulikan seruan maupun tatapan orang orang sekeliling.
“Kau tidak lupa padaku, Srin?”
“Heh! Tentu kau masih bernama Rasus.”
“Kau juga tidak lupa kejadian pada suatu malam di belakang rumah Kartareja?”
“Jangkrik! Jangan keras-keras. Ya, aku tak melupakan ulahmu yang tolol dan konyol
itu.”
“He-he. Tetapi aku ingin mengulanginya.”
“Kampret, jangan keras-keras. Atau kalau kau ingin membual banyak-banyak, mari
kita beli cendol. Di warung itu kelihatan sepi.”
“Nah, ayolah. Bersama seorang ronggeng, perut akan terjamin bukan?”
“Sudahlah. Kau jangan nyinyir seperti Nyai Kartareja.”
Beberapa orang berseru macam-macam ketika melihat aku menggandeng Srintil ke
luar pasar menuju warung cendol. Semua tidak kuambil peduli. Apalagi Srintil sendiri
yang membungkam mulut-mulut usil itu.
“Kalian orang-orang pasar, jangan iri hati. Rasus adalah teman lama dari Dukuh Paruk.
Atau bila kalian tetap merasa iri, tunggulah di sini. Nanti kalian akan mendapat
giliran.”
Srintil pernah menyerahkan diri kepadaku di tempat gelap di belakang rumah
Kartareja. Bagiku kejadian itu hampir tak berkesan. Karena waktu itu Srintil bukan
hanya sekedar seorang ronggeng. Lagipula waktu itu kuanggap penyerahan Srintil
sebagai imbalan penyerahan keris kecil yang kulakukan kepadanya.
Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil berbicara, dari
caranya duduk di sampingku dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat
kejadian di belakang rumah Kartareja itu secara khusus dalam hatinya. Maka aku
terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa peristiwa penyerahan virginitas oleh
seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. Juga aku jadi percaya akan
kata-kata yang pernah kudengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang
perempuan. Dia mengharapkan seorang kecintaan. Laki-laki yang datang tidak perlu
mengeluarkan uang bila dia menjadi kecintaan sang ronggeng.
“Rasus, kau menghilang dari Dukuh Paruk sejak kejadian malam hari di belakang
rumah Kartareja. Jangkrik! Aku sungguh tak mengerti mengapa kau bertindak
demikian.”
Jika Srintil mengajukan pertanyaan seperti itu beberapa bulan yang lalu, aku akan sulit
mencari jawabnya. Kalaupun aku menemukannya, pastilah muluk, karena aku masih
menghubungkan Emak dengan diri Srintil. Tetapi di warung cendol itu mulutku dengan
lancar memberikan jawaban kepada Srintil.
“Karena engkau telah sah menjadi ronggeng. Selamanya aku tak ingin bertemu lagi
denganmu kecuali aku mempunyai uang.”
“Jadi begitukah rupanya, Rasus?”
“Ya, mengapa?”
“Apakah waktu itu aku juga minta uang kepadamu?”
Srintil menundukkan kepala ketika mengucapkan kata-kata itu. Sebelum aku bisa
membuka mulut, Srintil bangkit meninggalkanku. Aku terpana dan hanya mampu
melihat dia mengangkat keranjang belanjaannya ke atas sado. Ketika sais
membunyikan cambuk buat melarikan kuda, hatiku yang terlecut.
Aneh, ternyata selama setahun penuh aku belum juga menginjakkan kaki ke Dukuh
Paruk. Bagiku, bila mendengar Nenek masih mengiris-iris singkong untuk dibuat
gaplek serta pergi ke tanah kosong buat menggembala kambing, itu sudah cukup.
Pasar Dawuan selama satu tahun itu sekali-sekali menjadi tempat pertemuanku
dengan Srintil. Terkadang Srintil mengajakku ke sebuah rumah tidak jauh dari pasar
Dawuan. Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dia tahu betul setiap
rumah yang bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia membuktikan kata-katanya bahwa
dariku dia tidak mengharapkan uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh
tentang bayi, tentang perkawinan.
Lucu.
Seorang ronggeng berceloteh tentang perkawinan, tentang seorang bayi. Sebagai anak
Dukuh Paruk sejati, aku langsung bisa mencurigainya. Aku tahu benar perkawinan di
Dukuh Paruk bukan barang muluk, apalagi kudus, maka para perempuan di sana tak
perlu memujanya. Perkawinan dalam urusannya dengan kepentingan hayati bisa
didapat dengan mudah, apalagi bagi Srilitil yang cantik. Bila Srintil menginginkan
seorang bayi, mengapa dia cemas? Bukankah berpuluh lelaki telah menabur benih?
Orang-orang di luar Dukuh Paruk tidak mengerti di mana letak persoalannya.
Betapapun perempuan Dukuh Paruk hidup dalam dunianya yang tersendiri, naluri
mereka yang ingin beroleh keturunan sama dengan perempuan-perempuan lain.
Mereka membenci kambing-kambing yang tak bisa beranak, apapula terhadap diri
yang mandul. Mereka merasa mengemban amanat suci Ki Secamenggala agar
keturunan moyang orang Dukuh Paruk itu tidak punah termakan malapetaka maupun
kemelaratan. Hal ini berarti: bayi. Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran
bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya.
Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh
Paruk mengatakan karir seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama.
Kukira Srintil mulai sadar kemandulan adalah hantu mengerikan yang akan menjelang
pada hari tua. Atau Srintil telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah
mencapai hari tua karena keburu dimakan rajasinga atau penyakit kotor lainnya.
Entahlah.
Yang jelas celoteh Srintil tentang bayi dan perkawinan hanya kuanggap sebagai
ungkapan perasaan secara emosional, tanpa suatu alasan yang mendukungnya.
Lagipula aku merasa rendah diri karena Srintil telah menjadi ronggeng yang benarbenar
kaya. Namun seandainya benar keinginan Srintil memperoleh seorang bayi
terdorong ketakutannya menghadapi hari tua, aku tak bisa berbuat lain kecuali iba.
Sangat iba!
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan
senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku
yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai merasa takut. Mulai terpikir olehku
apakah sudah tiba saatnya bagiku kembali ke Dukuh Paruk? Aku berharap para
perampok tidak tertarik pada pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah
sawah. Menurut perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana polisi gampang
mengepungnya.
Ternyata hingga dua tahun berikutnya aku belum juga datang melihat Dukuh Paruk.
Bahkan aku meninggalkan pasar Dawuan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
bersama sekelompok tentara di bawah pimpinan Sersan Slamet.
Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara ajaib. Dimulai pada suatu
sore di depan pasar Dawuan. Pasar begitu sepi. Apalagi perampokan makin hari makin
sering terjadi. Sebuah truk penuh tentara berhenti. Kira-kira dua puluh orang tentara
turun, masing-masing dengan topi baja dan bedil. Banyak anak-anak menyingkir
melihat kedatangan para tentara itu. Mereka terutama takut kepada bedil.
Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar. Kulihat seorang
tentara, yang kemudian kukenal sebagai Sersan Slamet, mencari seseorang untuk
membantu menurunkan peti-peti serta barang-barang lainnya. Dia tidak melihat
seorang pun kecuali aku. Jadi lambaian tangannya kemudian diarahkannya kepadaku.
Tak ada anak Dukuh Paruk yang tidak gemetar menerima panggilan seorang tentara.
Aku hampir melangkah surut bila Sersan Slamet tidak mengulangi lambaiannya.
Bahkan kulihat senyumnya yang kemudian mengurangi ketakutanku.
“Siapa namamu?” tanya Sersan Slamet. Gayanya ramah kebapakan.
“Rasus.”
“Bila tidak sedang sibuk kuminta kau mau membantu kami.”
“Tidak. Aku tidak mempunyai kerja saat ini,” kataku masih dengan rasa takut tersisa di
hati.
“Jadi kau mau membantu kami?”
Aku mengangguk.
“Baik Marilah mulai. Angkut peti-peti itu ke rumah sana. Nanti ada upah tersedia
bagimu.”
Pekerjaan kumulai. Peti-peti logam serta barang berat lainnya kuangkat di atas pundak
dan kubawa ke sebuah rumah batu yang ternyata telah dipersiapkan sebagai markas
tentara. Dari rasa takut lambat laun berubah menjadi rasa bangga. Seorang anak
Dukuh Paruk bekerja dalam kelompok tentara. Meski pakaianku tidak seragam dengan
mereka, tetapi aku berjalan beriring dengan mereka. Bahkan aku sudah berbicara
dengan pemimpin mereka, Sersan Slamet. Aku telah berkenalan dengan seorang
tentara.
Karena merasa bangga bekerja dengan sekelompok tentara maka aku mampu
mengeluarkan tenaga lebih dari biasanya. Bila mereka mengangkat peti itu satu-satu,
aku mengangkatnya sekaligus dua buah di pundakku. Dalam waktu sekian menit
mereka hanya bisa membawa sebuah barang dari truk ke markas. Tetapi dalam waktu
sama aku telah dua kali hilir-mudik. Rupanya Sersan Slamet mencatat hal ini.
Setelah semua barang selesai dibawa ke markas itu, aku minta diri hendak pulang ke
sarangku di pasar Dawuan. Sersan Slamet menahanku. Aku dimintanya lebih lama
membantunya. Maka rumah kosong yang hendak jadi markas itu kusapu. Ketika aku
sedang bekerja Sersan Stamet memberiku sepasang pakaian tentara bekas. Aku
diminta segera mengenakannya. Jadilah aku berseragam hijau.
Aku mengira sepasang pakaian bekas yang sudah bertisik di sana-sini itu adalah upah
yang dijanjikan Sersan Slamet sesaat aku mulai bekerja. Rupanya tidak demikian.
Sersan itu telah menjeratku agar aku mau bekerja menjadi kacung yang harus
melayani diri serta seluruh anggota pasukannya. Untung, aku tidak bersangkut-paut
dengan para gerombolan yang sering mengacau wilayah Dawuan. Bayangkan bila aku
seorang anggota gerombolan, atau setidaknya seorang mata-mata mereka yang
kuketahui banyak di antara penduduk, maka keputusan Sersan Slamet mengangkatku
menjadi pelayannya sungguh suatu kesalahan besar.
Menjelang sore semua yang harus kukerjakan telah beres. Sersan Slamet menyuruhku
duduk. Di hadapan beberapa tentara lain, sersan itu menanyaiku.
“Rasus, dengan pakaian itu engkau telah pantas menjadi seorang tobang. Kami
memerlukan seseorang untuk melayani kami dalam tugas. Tentu saja bila kau bersedia
memikul tugas itu kelak kau akan menerima gaji. Bagaimana?”
Jawaban apa pun tidak bisa segera kuberikan. Tetapi dalam hati aku bersorak-sorai.
Bila tawaran itu kuterima, maka pasti aku akan menjadi anak Dukuh Paruk pertama
yang berseragam hijau, berbicara dalam bahasa Indonesia, lagipula menerima gaji.
Bukan main hebat! Srintil akan melihat seorang yang pernah dikenalnya bernama
Rasus berseragam tentara, meski tanpa pangkat. Sakarya dan Kartareja yang telah
menciptakan Srintil menjadi seorang ronggeng sehingga aku kehilangan bayangan
Emak, akan terbata-bata bila suatu saat kudatangi. Rasakan dia.
“Lho. Engkau tetap diam, Rasus. Engkau menolak atau hanya bingung memikirkan
tawaranku?” tanya Sersan Slamet.
“Tidak demikian, Pak. Aku hanya merasa sangsi apakah aku dapat memenuhi syarat
untuk memikul tugas yang akan kuterima itu,” kataku merendah.
“Siapa saja yang mempunyai cukup tenaga serta kejujuran, dapat melaksanakan tugas
sebagai tobang. Tentang tenaga, aku sudah merasa pasti engkau memilikinya dengan
cukup. Kejujuranmu sudah terpancar dari wajah dan sinar matamu sendiri. Jadi aku
merasa pasti pula engkau mampu menjadi seorang tobang.”
“Kalau demikian penilaian Sersan, maka aku hanya menurut,” jawabku tanpa
mengangkat muka.
“Katakan; ya! Kami tentara. Kami memerlukan ketegasan dalam setiap sikap,” kata
Sersan Slamet tegas. Tetapi dari nadanya aku tak menangkap kekerasan.
“Ya. Tawaran itu kuterima!”
“Bagus. Engkau mulai berbicara seperti seorang tentara.”
“Tetapi...”
“Tetapi? Tentara tak pernah berbicara ‘tetapi’ bila keputusan telah diambil.”
“Singkong-singkong yang selama ini kujaga harus secara tegas dan pasti kuserahkan
kembali kepada pemiliknya. Seperti tentara, seorang tobang harus tegas!”
Pada hari-hari pertama menjadi tobang, banyak hal baru yang kurasakan. Siang hari
aku mencuci pakaian-pakaian tentara, melap sepatu-sepatu. Urusan dapur menjadi
bagianku pula. Aku melakukan bagian ini dengan senang hati karena di samping
memasak aku berkesempatan pergi berbelanja ke pasar Dawuan. Di sana aku pamer
dengan baju seragam. Semua orang yang pernah mengenalku di pasar itu memujiku.
Bahkan pemilik singkong yang pernah beberapa belas bulan menjadi majikanku, tak
berani memanggilku dengan nama, melainkan dengan sebutan “mas tobang”. Aku
berharap Srintil secepatnya mengetahui perubahan diriku lalu datang berbelanja ke
pasar Dawuan. Sayang belum satu pun orang Dukuh Paruk kujumpai di pasar itu.
Sebulan sejak kedatangan pasukan tentara tak terdengar peristiwa perampokan di
wilayah Dawuan. Meskipun tentara tetap siaga dan berpatroli di malam hari, tetapi
setidaknya aku merasakan suasana yang tenang di antara mereka. Hubunganku
dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan pribadi daripada
sebagai hubungan antara seorang tobang dan seorang sersan. Dia banyak bertanya
tentang diriku, asal-usulku bahkan sekolahku. Dia mengajariku menulis dan membaca
setelah mengetahui aku tak pernah bersekolah. Berbagai kisah diceriterakan
kepadaku. Tetapi yang kusenangi adalah kisah seorang tentara pelajar yang karena
keberaniannya dapat membunuh tiga serdadu musuh dalam suatu pertempuran. Pada
umumnya Sersan Slamet bersikap lembut kepadaku. Tetapi jiwa tentaranya harus
muncul juga. Misalnya beberapa hari setelah aku bergabung dengan pasukannya, dia
pernah berkata. “Sebagai seorang tobang segala sesuatu yang kauketahui di sini
menjadi rahasia penting. Kau harus menjaganya sekuat tenaga. Dengan orang luar
kau hanya dibenarkan berbicara seperlunya. Kalau kuketahui kau melakukan
kesalahan, aku sendiri yang akan menghukummu. Bila perlu dengan pestolku!”
Berbagai pengetahuan takkan pernah kudapat bila aku tak berkesempatan mengenal
Sersan Slamet. Hanya dua bulan aku belajar membaca dan menulis. Sesudah itu aku
mulai berkenalan dengan buku-buku, dari buku ceritera wayang, buku sejarah sampai
buku-buku yang berisi pengetahuan umum. Seluk-beluk senjata juga kuperoleh dari
sersan yang baik itu. Dari namanya seperti Pietro Beretta, Parabellum, Lee Enfield,
Thomson dan sebagainya.
Cara bongkar pasang dan penggunaannya pun diajarkan oleh Sersan Slamet
kepadaku. “Siapa tahu pada saat yang kritis kau harus ikut memegang senjata dalam
pertempuran,” kata sersan itu sambil tersenyum. Boleh jadi Sersan Slamet tidak tahu
hatiku melambung sampai ke langit karena mendengar ucapannya. Andaikata Emak
mendengar kata-kata itu!
Suatu pagi kudengar Sersan Slamet berkata kepada bawahannya. Bahkan aku pun
dipanggilnya mendekat.
“Sampai hari ini kiriman bahan makanan belum juga tiba. Padahal persediaan sudah
menipis. Kita membutuhkan daging segar. Terus-menerus memakan daging dan
makanan kaleng tidak baik untuk lambung kita. Jatah untuk pembeli daging segar
sudah habis. Kita putuskan berburu babi atau kijang di hutan.”
“Berita bagus,” kata kopral Pujo, “aku ikut.”
“Tidak. Kopral tinggal di sini dan kuserahi tanggung jawab. Aku hanya memerlukan
dua orang serta Rasus sebagai penunjuk jalan.”
Bila Kopral Pujo bersuka-ria mendengar berita itu, apalagi aku yang bahkan akan
diajaknya serta. Berburu bersama tiga orang tentara ke hutan. Orang kampung akan
melihat Rasus berjalan beriringan dengan tentara. Mereka akan melihat Rasus
mengenakan baju hijau. Pasti mereka akan bergumam. Anak Dukuh Paruk yang satu
itu memang luar biasa, dapat menjadi tentara. Apalagi bila aku dapat dipercaya
memanggul bedil. Pasti akan berlipat kekaguman orang kampung padaku. Dalam
perjalanan pulang aku akan memanggul sendiri hasil buruan. Babi atau kijang.
Tak pernah kuimpikan sebelumnya bahwa suatu pengalaman yang amat luar biasa
kuperoleh dalam kesempatan berburu itu. Bukan dengan binatang buruan, bukan pula
dengan gerombolan perampok yang bersembunyi di hutan.
Kira-kira jam delapan kami berangkat dan Dawuan. Di punggungku ada ransel berisi
perbekalan. Di pinggangku yang sebelah kiri tergantung termos dan pinggang kanan
terselip pisau belati bersirung. Aku merasa diriku luar biasa gagah saat itu. Benar,
sepanjang perjalanan ke hutan semua orang yang kebetulan berpapasan denganku
bersama tiga orang tentara berdiri sesaat hanya untuk mengagumi seorang anak
Dukuh Paruk. Anak-anak kecil segera bersembunyi, meski mereka kupanggil dengan
bahasa ibu.
Sampai di hutan, perburuan langsung dimulai. Dalam hal ini aku kecewa karena tiga
orang tentara yang kuiringkan sama sekali tak berpengalaman dalam hal berburu.
Celeng sama sekali tak terlihat barang seekor. Kijang memang terlihat tetapi Sersan
Slamet yang menjadi algojo gagal menembak sasarannya. Sampai sore hari ketika
perburuan dihentikan, para pemburu hanya kehilangan dua peluru. Satu unruk
menembak kijang yang ternyata tak mengena. Satu lagi untuk menembak seekor ular
sanca sebesar paha yang bergelung di atas pohon.
Jadi di tengah hutan itu aku mempunyai pekerjaan menguliti seekor ular besar,
memotonginya pendek-pendek, kemudian memasukkannya dalam tiga buah ransel.
Sesungguhnya aku tak menyukai pekerjaan semacam itu. Tetapi demi Sersan Slamet
segalanya kulakukan, meski beberapa kali aku hampir muntah. Bau anyir dan sengak
menggelitik lambung dan mengaduk-aduk isinya.
“Selesaikan pekerjaanmu,” kata Sersan Slamet. “Aku mau tidur barang sebentar.
Cepat bangunkan aku bila kau melihat sesuatu yang mencurigakan.”
“Celeng atau kijang?” ujarku bergurau. Sersan Slamet hanya tersenyum lalu
merebahkan diri di bawah pohon. Kedua tentara lain malah sudah tak bergerak-gerak
lagi, tertidur pulas.
Sesungguhnya aku sangat ahli dalam hal mengupas singkong. Tetapi perkara
menguliti seekor ular yang hampir empat meter panjangnya baru sekali itu kulakukan.
Untung, sebelum pergi tidur Sersan Slamet memberikan petunjuknya. Kepala ular
kuikat dengan tali. Ujung tali yang lain kuikatkan pada sebatang pohon. Pada lehernya
kubuat irisan melingkar. Dari irisan itu kulit ular kukupas ke belakang. Tenagaku
hampir terkuras habis untuk menarik kulit ular itu. Hasilnya adalah sebuah kantung
panjang yang terbalik. Pekerjaan selanjutnya tidak memeras banyak tenaga. Ternyata
banyak daging ular yang harus kubuang. Dua buah ransel sudah penuh. Ransel ketiga
untuk diisi dengan kulit binatang itu.
Semuanya selesai sudah.
Aku bangkit berdiri untuk memutar tulang punggung. Sepi. Sersan Slamet dan dua
orang anggotanya masih terlelap. Aku tidak mempunyai keberanian membangunkan
ketiga anggota tentara itu. Maka aku hanya duduk berdiam diri dalam kelengangan
hutan yang terasa bertambah hening tanpa kehadiran angin. Setiap kali kutoleh ke
belakang tampak tiga sosok tubuh yang tetap nyenyak. Heran. Dalam keadaan tidur
sedikit pun tak tampak keperkasaan seorang tentara.
Ketika kupandangi tiga pucuk bedil yang dibiarkan tersandar oleh majikannya, tibatiba
muncul ilham gemilang. Sampai kapan pun aku tak bisa mengerti mengapa ilham
itu datang pada saatnya yang amat sangat tepat. Kedatangannya akan terbukti nanti
mampu mengakhiri derita panjang yang menista hidupku selama bertahun-tahun.
Ketiga bedil itu masih tersandar di tempatnya. Selagi Sersan Slamet bersama dua
rekannya pulas, aku bisa menggunakan salah sebuah bedil mereka untuk
kepentinganku sendiri. Aku mempunyai musuh bebuyutan yang meski hanya
merajalela dalam angan-angan, sudah sekian lama aku ingin menghancurkan
kepalanya hingga berkeping-keping: mantri yang telah membawa Emak melarikan diri
entah ke mana. Ketika datang kesempatan buat menghancurkan kepala mantri itu,
mengapa aku tidak segera bertindak?
Cepat! Jangan tunggu sampai ketiga orang tentara itu terjaga. Bayar kesumatmu
sekarang juga! Demikian sebuah suara terdengar jelas dalam hatiku sendiri.
Aku patuh. Tindakan pertama, kucari sebongkah batu cadas sebesar kepala. Kuangkat
dia ke atas sebuah tonggak kayu. Dengan pisau belati batu cadas itu kuukir. Ada
gambar mata, hidung dan bibir. Tak kulupakan kumis panjang yang melintang. Sehelai
daun jati kuletakkan di atas batu cadas itu. Maka lengkaplah kepala mantri keparat
yang telah mencuri Emak. Mantri yang menurut ceritera Nenek selalu berkumis dan
memakai topi gabus.
Dari jarak beberapa langkah aku menatap hasil rekaanku. Tak salah lagi. Itulah
mantri, musuh bebuyutanku. Bajingan tunggulah balas dendamku beberapa detik lagi.
Kulihat kiri-kanan. Sepi. Hanya seekor dadali terbang melintas di langit. Biarlah dia
menjadi saksi tunggal atas perbuatan yang akan kulakukan. Aku akan membayar
dendam. Dengan berjingkat aku mencapai salah sebuah bedil itu. Sebuah Lee Enfield.
Tanganku gemetar ketika mengangkatnya. Bukan karena aku baru kali pertama
menjamah sebuah senjata api. Bukan. Sudah kukatakan aku mengenal berbagai jenis
senjata sejak aku bergabung dengan Sersan Slamet. Tanganku gemetar karena
gejolak dalam hatiku sendiri. Gemetar karena rasa kesumat yang sesaat lagi akan
terlampiaskan.
Pelan, pelan sekali aku melangkah mundur. Aku takut salah seorang dari ketiga
tentara itu bangun. Bila sampai terjadi demikian gagallah rencanaku membalas
dendam kepada mantriku yang keparat, Kemudian aku berbalik. Demikian maka aku
berdiri beberapa langkah di depan kepala mantri. Aku kembali membuat gerakan yang
begitu pelan, ketika aku menarik handel untuk mengokang bedil di tanganku. Lirih
sekali sehingga kuharap kuman yang berada di telapak tanganku tak mendengar bunyi
pegas yang kurentang.
Denyut jantungku ternyata mampu menggerak-gerakkan ujung laras bedil yang telah
tertuju lurus pada sasaran. Kepala mantri itu! Maka aku masih menunggu sampai
jantungku sedikit lebih tenang.
Saat telah tiba.
Bedil kembali kuarahkan kepada sasaran. Kubayangkan bagaimana seorang anggota
regu tembak berdiri menunaikan tugas menembak mati seorang musuh. Dialah yang
kutiru. Picu kutarik. Ledakan dendam membuat gerak telunjuk kananku menjadi kuat
dan pasti. Aku hampir tidak mendengar letupan karena seluruh indera terpusat kepada
kepala mantri yang hancur dan terlempar ke belakang. Topi gabusnya terbang entah
ke mana.
Ya Tuhan! Detik berikutnya aku mendengar Sersan Slamet dan kedua temannya
terbangun. Sedetik lagi aku mendengar hardikan yang amat keras disusul sebuah
telapak tangan mendarat di pipiku. Bedil di tangan direnggutkan dengan begitu kasar.
Tetapi aku tidak pedulikan semuanya. Aku sedang menikmati kepuasan batin yang
amat sangat. Mantriku telah mati. Kepalanya hancur sampai tak mungkin orang
mengenalinya kembali. Tidak kupedulikan ketiga tentara yang kemudian berdiri
bingung, aku maju hendak melihat hasil tembakanku. Luar biasa. Kepala mantri
tinggal menjadi kepingan-kepingan kecil. Seorang lelaki dengan kepala hancur seperti
itu takkan bisa membawa lari Emak. Sejak saat itu dia sudah menjadi bangkai. Emak
telah kubebaskan. Dia akan kuajak kembali ke Dukuh Paruk sekarang juga. Aku
menang, menjadi putera paling perkasa yang berhasil gemilang membebaskan Emak
tercinta dari genggaman setan.
Kukira kesadaran sedang kembali kepada diriku ketika aku berdiri kaku menghadap
tiga orang tentara yang memandangku dengan heran. Badanku basah oleh keringat
dingin. Tangan dan kakiku gemetar. Tetapi aku berusaha membuat langkah pertama
ke arah Sersan Slamet. Sayang aku tak sampai ke tujuan. Kulihat segalanya berputar
jungkir-balik. Apa yang terjadi kemudian aku tak mengetahuinya lagi.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Ingatan pertama yang kurasakan adalah
ketika Sersan Slamet menuangkan kopi hangat dari termosnya ke dalam mulutku.
Kemudian dari mulut yang belum sepenuhnya terkendali masih terlontar kata-kata,
“Mak, kau sudah bebas sekarang. Mari pulang!”
“Ya, kau sudah sadar. Kita akan segera pulang,” ujar Sersan Slamet. Kata-kata itu
membuatku lebih tersadar.
“Oh, Sersan. Aku telah membuat kesalahan. Aku mohon maaf,” kataku sambil bangkit
duduk.
“Aku harus mengerti lebih dulu mengapa semua ini kaulakukan. Kau sudah bisa
menerangkannya sekarang?”
“Maaf, Sersan, aku tak bisa menerangkannya sekarang. Atau hukumlah aku.
Kesalahan telah kuperbuat dengan meledakkan sebuah peluru dengan maksud yang
sukar Sersan mengerti. Sungguh, Sersan, aku rela menerima hukuman apa pun.
“Baik. Mari kita pulang. Tetapi kau harus berjanji nanti akan memberikan keterangan
sejelas-jelasnya kepadaku.”
“Terima kasih, Sersan. Saya berjanji.”
“Bagaimana dengan ular sanca?”
“Sudah selesai. Tinggal membawanya dalam tiga buah ransel.”
“Kau merasa sudah cukup kuat?”
“Sudah.”
“Ambil pikulan. Hukuman pertama bagimu adalah mengangkat ketiga ransel itu,
seorang diri.”
Kepada teman-temannya di markas, kedua tentara yapg ikut berburu mengatakan aku
kemasukan setan di hutan. Maka beberapa orang meminta keterangan langsung
kepadaku, dan aku hanya cukup mengiyakan. Tetapi kepada Sersan Slamet di
kamarnya kukatakan dengan panjang lebar mengapa aku menembak segumpal cadas
itu. Pak Sersan mengerti tentang alasan yang kukatakan itu.
“Maka aku sungguh minta maaf, Sersan.”
“Hanya kali ini kau kumaafkan. Kali lain tidak. Untung aku dapat memahami
penderitaan batinmu karena selama hidup engkau belum pernah melihat ibumu. Kalau
tidak hukuman yang akan kauterima cukup berat. Bayangkan, mengambil dan
menggunakan bedil. Bahkan seorang tentara harus memenuhi syarat tertentu agar
dibenarkan berlaku demikian.”
***
Kehadiran tentara di Dawuan tidak selamanya dapat mencegah perampokan di wilayah
kecamatan tersebut. Bahkan di beberapa kampung para perampok semakin berani.
Pembunuhan terhadap para korban mulai berani mereka lakukan. Usaha mengatasi
masalah itu ternyata bukan tugas mudah bagi Sersan Slamet bersama anak buahnya.
Patroli malam hari tidak berhasil menangkap seorang perampok pun. Sebaliknya
seorang anggota tentara tewas dan seorang lainnya terluka ketika segerombolan
perampok mencegat satuan patroli malam.
Sersan Slamet mengganti taktik. Anggotanya dipecah menjadi kelompok-kelompok
kecil dengan anggota dua sampai tiga orang. Setiap kelompok bertugas mengawasi
rumah-rumah penduduk yang diduga menyimpan emas permata. Orang-orang inilah
yang selalu menjadi sasaran perampokan. Satuan kecil itu meninggalkan posnya di
Dawuan secara menyamar dan sudah siap di tempat tugas ketika matahari terbenam.
Namun karena jumlah anggota yang terbatas, aku terpaksa ikut menjadi anggota
satuan, meski aku belum mendapat kepercayaan memegang senjata. Bersama Kopral
Pujo aku mendapat bagian mengawasi Dukuh Paruk. Karena aku sangat mengenal
pedukuhan itu, kata Sersan Slamet memberi alasan. Di Dukuh Paruk ada tersimpan
emas. Di mana lagi kalau bukan di rumah Srintil. Maka aku menerima tugas bersama
Kopral Pujo dengan senang hati, meski terbersit ketakutan akan bertemu langsung
dengan para perampok itu.
Setiap hari sebelum matahari terbenam, aku berangkat ke Dukuh Paruk. Kopral Pujo
menyembunyikan bedilnya dalam gulungan kain sarung. Dia sendiri tidak mengenakan
seragam tentara, bahkan tanpa alas kaki. Aku hanya bersenjata sebuah lampu senter.
Kami usahakan agar kedatangan kami tidak diketahui oleh orang Dukuh Paruk sendiri.
Tempat yang kami pakai sebagai tempat mengintai terletak di ujung pematang yang
menghubungkan Dukuh Paruk dengan dunia luar. Bila sampai fajar tak terjadi sesuatu,
kami pulang ke Dawuan. Biasanya kami langsung tidur sepanjang pagi.
Sesungguhnya aku tidak berharap, sesuatu akan menimpa Dukuh Paruk. Betapapun
dia adalah tanah airku yang kecil. Tetapi pada malam kesembilan, ketika cahaya
bintang mampu menerangi pedukuhan itu, dari tempat pengintaian kulihat sinar lampu
senter mendekat. Kubuka
mataku lebar-lebar. Empat lima orang sedang berjalan beriring di atas pematang.
Sinar bintang-bintang memungkinkan mataku melihat kelima orang itu masing-masing
membawa benda panjang. Tak salah lagi, bedil.
“Aduh, Kopral. Akhirnya mereka datang juga,” kataku berbisik.
“Berapa? Mataku kurang awas.”
“Lima. Semuanya bersenjata. Kita hadapi mereka?”
“Seharusnya begitu. Tetapi jangan gila. Hanya ada sepucuk senjata pada kita. Pada
mereka ada lima bedil.”
“Jadi bagaimana? Keputusan harus segera kita ambil.”
“Nanti dulu. Aku mau kencing.”
Mengecewakan. Kopral Pujo tidak lebih berani daripadaku. Pada saat itu dia tidak bisa
mengambil keputusan. Jadi akulah yang mengambil prakarsa.
“Kita perlu bantuan. Kopral tetap di sini. Aku akan berlari secepatnya ke Dawuan.
Dalam dua puluh menit kuharap aku sudah kembali bersama Sersan Slamet.”
“Terlalu lama. Mana sentermu. Aku akan memberi isyarat ke markas.”
“Tetapi dari tempat ini isyarat itu takkan terlihat oleh Sersan Slamet. Kopral harus lari
sampai ke pertengahan pematang.”
“Tak mengapa.”
“Nah inilah senter yang Kopral minta. Aku juga akan meninggalkan tempat ini
mengikuti para perampok itu dari belakang.”
“Ya.”
“Hati-hati. Kopral jangan salah tembak nanti.”
“Ya.”
Selagi Kopral Pujo lari ke tengah pematang, aku mengendap mengikuti para perampok
yang baru beberapa menit lewat di dekat tempat pengintaian. Benar dugaanku,
mereka tidak mendatangi rumah Kartareja di mana Srintil tinggal, melainkan ke rumah
Sakarya. Dengan atap seng pemberian lurah Pecikalan, rumah Sakarya kelihatan
paling menonjol di Dukuh Paruk.
Kulihat dua orang perampok tetap tinggal di luar, satu di belakang dan lainnya di
halaman rumah. Tiga lainnya masuk ke beranda setelah membuka pintu dengan
tendangan kaki. Sakarya yang terkejut, langsung mengerti apa yang akan terjadi.
Kakek Srintil itu keluar. Di ruang tengah dia berhadapan dengan tiga orang yang
mengacungkan senjata kepadanya. Nyai Sakarya yang menyusul suaminya keluar
langsung tersimpuh di tanah.
“Ini rumah ronggeng Srintil, bukan?” bentak salah seorang perampok kepada Sakarya.
Yang dibentak menggigil ketakutan.
“Aku memang kakek Srintil. Tetapi dia tidak di sini lagi sekarang,” jawab Sakarya
dengan bibir gemetar. Salah seorang perampok menampar orang tua itu sampai
terhuyung. Lainnya menggeledah ke seluruh sudut rumah. Tak menemukan Srintil
maupun hartanya, para penjahat kembali berlaku kasar kepada Sakarya.
“Katakan di mana Srintil tinggal! Jangan membuang waktu. Bedilku bisa meledak
setiap saat.”
“Jangan, jangan. Akan kukatakan, Srintil tinggal di rumah Kartareja, tiga rumah ke
timur dari sini. Tetapi jangan kalian apa-apakan dia. Sungguh. Srintil cucu tunggal
kami. Ambil hartanya, tapi jangan cederai dia.”
“Itu urusanku. Kamu jangan mengajari kami.”
Sebelum meninggalkan rumah Sakarya para perampok membuat orang tua itu
pingsan. Pukulan di kepala dengan menggunakan lampu senter sudah cukup.
Kemudian kelima penjahat bersama-sama menuju rumah Kartareja. Dukun ronggeng
itu sudah mendengar kegaduhan di rumah Sakarya. Barang-barang emas miliknya dan
milik Srintil disembunyikannya di dalam abu tungku.
Seperti ketika datang ke rumah Sakarya, maka dua orang perampok tetap tinggal di
luar rumah. Aku berada di balik pohon hanya beberapa langkah dengan salah seorang
di antara mereka. Kudengar pintu yang didobrak. Suara-suara menghardik dan suarasuara
pukulan. Sesaat berikutnya kudengar jerit Srintil. Aku mengutuk sengit mengapa
Kopral Pujo belum juga muncul. Karena tidak sabar menunggu, maka timbul
keberanianku.
Penjahat yang berdiri di belakang rumah kelihatan gelisah. Aku mencari sesuatu di
tanah. Sebuah batu sudah cukup. Tetapi yang kutemukan sebatang gagang pacul.
Ketika perampok itu membelakangiku, aku maju dengan hati-hati. Pembunuhan
kulakukan untuk kali pertama. Aku tidak biasa melihat orang terkapar di tanah. Aku
belum pernah melihat bagaimana seorang manusia meregang nyawa. Pengalaman
pertama itu membuat aku gemetar. Dan siap lari andaikata tidak tertahan oleh
keadaan. Aku mendengar langkah mendekat. Cepat aku mengambil senjata milik
orang yang sudah kubunuh. Sebuah Thomson yang tangkainya sudah diganti dengan
kayu buatan sendiri. Tak mengapa. Senjata yang telah terkokang itu kugunakan untuk
pembunuhan kali kedua.
Sesudah itu aku benar-benar merasa takut. Aku lari dan berbalik sesaat untuk
menghujani rumah Kartareja dengan peluru yang masih tersisa. Kemudian aku berlari
kembali. Sampai di sawah aku bertiarap di balik pematang. Thomson itu telah
tersembunyi di dalam sebuah parit.
Ketika dalam keremangan kulihat empat sosok tubuh berlari ke arah pedukuhan, aku
mengerti Kopral Pujo sudah datang membawa bantuan.
“Tunggu, aku Rasus.”
“He, di mana mereka?” tanya Sersan Slamet.
“Di rumah Kartareja. Cepat. Dua di antara mereka telah kubunuh,” kataku dengan
menggigil.
Sersan Slamet mengatur siasat. Dia menyuruh tiga anak buahnya memasuki Dukuh
Paruk dengan tugas mengusir para penjahat keluar. Dengan Thomson-nya Sersan
Slamet akan mencegat mereka di tepi sawah.
Terdengar letupan-letupan ramai. Para perampok termakan oleh siasat Sersan Slamet.
Mereka lari ke luar rumah Kartareja. Satu orang tertembak oleh Kopral Pujo. Satu
orang lolos, tetapi senjata Sersan Slamet berhasil membunuh seorang lainnya.
Setelah suasana sepi Sersan Slamet mengajakku melihat rumah Kartareja. Kopral Pujo
dan dua temannya sudah di sana. Dengan lampu senter kucari Thomson bertangkai
kayu yang tadi kulempar ke dalam parit. Kupanggul dia dengan gagah. Di belakang
rumah Kartareja aku berhenti. Kepada Sersan Slamet kutunjukkan dua mayat. Tetapi
aku hampir muntah melihat darah begitu banyak. Sebuah senjata lagi tergeletak dekat
salah seorang mayat.
Ketika aku dan Sersan Slamet masuk, Kartareja sedang menggigil di depan Kopral
Pujo. Istrinya duduk termangu. Srintil terbelalak melihat aku membawa bedil, schingga
dia ragu-ragu mendekat. Dari keterangan Kartareja diketahui perampok hanya berhasil
membawa perhiasan yang pada saat itu dikenakan Srintil; sepasang subang, dua
cincin dan seuntai kalung. Kartareja menyuruh Srintil tetap mengenakan perhiasan itu
untuk melindungi perhiasan lain yang lebih mahal dari jarahan para perampok.
Orang-orang Dukuh Paruk keluar dan berkumpul di rumah Kartareja. Dengan obor
mereka disuruh oleh Sersan Slamet mengumpulkan empat mayat. Di hadapan orang
banyak Sersan Slamet memujiku sebagai seorang pemberani. Tentara itu tidak tahu
aku paling takut melihat darah. “Rasus sangat pantas menjadi tentara. Saya akan
berusaha agar dia diangkat secara resmi menjadi anggota kesatuan saya,” kata Sersan
Slamet yang disambut dengan gumam orang-orang Dukuh Paruk.
Empat mayat akan ditanam besok pagi untuk dikenali dulu identitasnya. Tengah
malam Sersan Slamet bersama dua anggotanya pulang ke Dawuan. Aku berdua Kopral
Pujo tetap tinggal di Dukuh Paruk.
Srintil mengikutiku ketika aku berjalan menuju rumah Nenek. Ah, semakin tua
nenekku. Kurus dan makin bungkuk. Kasihan, Nenek tidak bisa banyak bertanya
kepadaku. Linglung dia. Tetapi aku merangkulnya sambil berseru berulang-ulang
menyebut namaku sendiri. “Aku Rasus, Nek.”
“Eh, jadi kamu si Rasus?”
“Ya, Nek.”
“Kau sudah makan?”
“Sudah. Sudah.”
“Jadi kamu mau tidur di sini?”
“Ya, Nek. Malam ini Nenek kutemani. Sekarang berbaringlah kembali. Ayo kubantu.”
Selagi orang-orang Dukuh Paruk mengerumuni rumah Kartareja, aku duduk
berdekatan dengan Srintil di beranda rumah nenekku sendiri. Pernah kubaca dongeng
tentang seorang pahlawan yang pulang dari peperangan dan kembali disambut oleh
seorang puteri jelita. Aku mengumpat habis-habisan mengapa dongeng semacam itu
sempat singgah dalam ingatan. Ketika duduk berdua Srintil itu aku memang
merasakan kepuasan yang amat sangat. Bukan oleh kenyataan bahwa Srintil tak
habis-habisnya memujiku atau karena dia berserah diri sepenuhnya kepadaku. Bukan
pula oleh pembunuhan atas dua orang manusia yang telah kulakukan malam itu.
Jiwaku terlalu lemah buat menghadapi perbuatan semacam itu, meski mereka yang
kubunuh adalah perampok-perampok. Dalam hati aku bersumpah, perbuatan
mencabut nyawa takkan pernah kulakukan lagi baik terhadap orang jahat, apalagi
terhadap orang-orang biasa.
Bukan. Kepuasan itu telah berkembang sejak beberapa hari yang lalu ketika kepala
mantri kutembak hancur di tengah hutan. Orang lain akan mengatakan perbuatanku
itu tidak lebih dari ulah seorang bocah ingusan yang tidak bermakna apa pun kecuali
hanya mengundang tawa. Ya, aku tidak berharap orang lain percaya bahwa aku telah
menghukum mati musuh yang telah bertahun-tahun mengusik, bahkan membuat teror
berkepanjangan dalam kehidupan batinku. Katakanlah, tak seorang pun mempunyai
kepentingan dalam urusan sepele itu, urusan yang tolol dan sinting.
Tetapi aku merasa dengan pasti beban batin yang selalu menindih di hati sebagian
besar telah hilang. Kemungkinan kebenaran ceritera bahwa Emak melarikan diri
bersama mantri sama sama sekali. Jadi Emak, yang sudah kuyakini tidak sedikit pun
mirip Srintil, memang mati termakan racun tempe bongkrek. Mayatnya kemudian
dipakai dalam penyelidikan medis untuk mengetahui segala tetek-bengek tentang
racun bongkrek. Bila aku telah meninggalkan nilai-nilai asli Dukuh Paruk, tentulah aku
bisa mengatakan mayat Emak telah diabdikan untuk kepentingan kemanusiaan. Aku
rela sudah, Emak dikubur di suatu tempat entah di mana. Tokh aku sudah tahu,
duniaku sudah jauh lebih luas daripada sekedar pemukiman sempit yang terpencil,
Dukuh Paruk.
Pagi hari ketika semua orang Dukuh Paruk sibuk dengan empat mayat penjahat, aku
sengaja tidak keluar dari rumah Nenek. Srintil yang lekat sejak malam hari tak mau
berpisah, kecuali ketika dia pulang sebentar buat mengambil beras. Ronggeng itu
cukup arif karena dia tahu di rumah Nenek hampir sepanjang tahun tidak tersimpan
beras meski hanya segenggam. Srintil menanak nasi dan merebus air buat aku dan
Nenek. Dia juga membuat telur dadar, makanan paling mewah yang sangat jarang
dibuat orang di pedukuhan kecil itu. Pagi itu, bahkan selama beberapa hari kemudian,
Srintil menyediakan diri menjadi istriku. Bukan hanya aku yang dimanjakannya secara
berlebihan, melainkan juga Nenek. Perempuan pikun itu pasti merasa mendapat saat
yang paling menyenangkan sepanjang usianya.
Melalui Kopral Pujo yang hari itu pulang kembali ke markasnya di Dawuan aku
menitipkan pesan kepada Sersan Slamet. Aku minta ijin beristirahat barang empat
lima hari. “Mencari seseorang yang bisa menjaga Nenek yang sudah sangat renta,”
begitu pesanku. Ternyata usahaku menemukan seseorang itu sangat mudah. Aku
terkejut ketika menyadari semua orang di tanah airku yang kecil itu siap memenuhi
segala keinginanku.
“Soal nenekmu, jangan kaurisaukan benar. Kami akan menjaganya baik-baik. Kami
sungguh sadar dari dirinyalah lahir seorang cucu, seorang bocah bagus yang telah
berhasil membunuh dua orang penjahat,” kata Kartareja sambil mengacungkan ibu jari
kepadaku. “Dan aku sanggup memberinya makan, karena aku sudah mempunyai padi
sekarang,” tambahnya.
“Jangkrik!” sahutku dalam hati. “Kamu si Tua Bangka telah menjadi kaya dengan cara
memperdagangkan Srintil.”
“Jadi, apakah engkau akan segera kembali ke markas, cucuku wong bagus?” tanya
Sakarya.
“Ya, esok hari, Kek,” jawabku.
“Lho, jadi engkau tidak akan tinggal kembali di Dukuh Paruk ini?” tanya seorang
perempuan, entah siapa dia.
“Ah, itu tak mungkin. Rasus sudah menjadi tentara. Kau tak melihat bedil yang
tergantung di tiang kayu itu?” ujar perempuan lainnya.
“Aku harus segera bergabung kembali dengan Sersan Slamet. Dia beserta anak-anak
buahnya sangat membutuhkan tenagaku. Wilayah kecamatan Dawuan belum aman,
bukan?” kataku yang segera disambut dengan anggukan-anggukan kepala.
Malam terakhir di Dukuh Paruk aku hampir gagal memejamkan mata hingga pagi hari.
Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut
oleh nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apa pun, baik
sebutan ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut
sebagai seorang perempuan utuh. Dia sungguh-sungguh ingin melahirkan anakku dari
rahimnya. Dia ingin aku tetap tinggal bersamanya di Dukuh Paruk, atau ikut
bersamaku, pergi bergabung dengan kelompok Sersan Slamet.
“Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kaukerjakan. Bila
kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah
malam yang amat sepi.
“Srin, aku belum berfikir sedemikian jauh. Atau aku takkan pernah memikirkan hal
semacam itu. Lagipula aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang
menjadi ronggeng,” jawabku.
“Eh, Rasus. Mengapa kau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan
permintaanku itu sekarang. Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng
karena aku ingin menjadi istri seorang tentara; engkaulah orangnya.”
Masih segudang alasan dan janji yang diucapkan Srintil padaku. Sebagai laki-laki usia
dua puluh tahun aku hampir dibuatnya menyerah. Tetapi sebagai anak Dukuh Paruk
yang telah tahu banyak akan dunia luar, aku mempunyai seribu alasan untuk
dipertimbangkan, bahkan untuk menolak permintaan Srintil. Srintil boleh mendapatkan
apa-apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku tahu hal ini sudah cukup memadai
bagi seorang perempuan Dukuh Paruk. Permintaan Srintil yang berlebihan pasti hanya
didorong keinginan sesaat yang kebetulan sejalan dengan nalurinya sebagai
perempuan.
Menjelang fajar tiba, kudengar burung sikatan mencecet di rumpun aur di belakang
rumah. Keletak-keletik bunyi tetes embun yang jatuh menimpa daun kering. Kudengar
dengung kumbang tahi yang terbang menuju arah asal bau tinja yang berserakan di
pedukuhanku yang kecil. Rengek bayi tetangga dan keributan kecil di kandang ayam.
Keretek tahi kambing yang tercurah ke atas geladak kandangnya. Dan kelepak sayap
kampret di antara daun jambu di samping rumah.
Perlahan-lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku tidak menghendaki terdengar derit
pelupuh bambu yang dapat membangunkan Srintil. Dia masih lelap karena lelah.
Malam itu Srintil terlalu banyak mengeluarkan keringat. Seperti dulu, Srintil bertambah
cantik dan teduh bila sedang tidur. Dengan hati-hati kubenahi kainnya yang acakacakan.
Ketika Srintil menggeliat, kuelus dia seperti aku sedang mengelus seorang
anak kecil. Tidak lama aku berdiri menatap ronggeng Dukuh Paruk itu. Aku tidak ingin
sesuatu yang berbau sentimental menahan keberangkatanku.
Di dalam bilik lain kulihat Nenek, tidur miring dan agak melingkar. Sinar pelita kecil
memungkinkan aku melihat gerak paru-parunya. Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa
bukan sejak dulu aku mencari gambar wajah Emak pada kerentaanmu? Oh, tidak,
tidak. Aku sudah mendapat pelajaran. Berusaha mencari gambaran Emak yang selama
ini kulakukan hanya membuahkan hasil keresahan. Kekeliruan semacam itu takkan
pernah kuulangi. Maka kutatap garis-garis kerentaan pada wajah Nenek secara damai.
Kemudian ke bawah bantal kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.
Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah menjadi tentara meski tanpa pangkat. Jadi
watak ragu harus kulenyapkan.
Selesai mengenakan pakaian seragam, kusambar bedil yang tergantung di atas balaibalai
di bilikku. Srintil masih lelap di sana, tetapi aku hanya melihatnya sejenak. Langit
di timur mulai benderang ketika aku melangkah ke luar. Belum seorang pun di Dukuh
Paruk yang sudah kelihatan. Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus, sudah
menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan
kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah
bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia pernah merenggut Srintil dari
tanganku. Bahkan lebih dari itu. Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku
yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang
ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk:
ronggeng!
Sampai di tengah pesawahan aku menoleh ke belakang. Aku tersenyum sendiri, lalu
bergegas meneruskan perjalanan. Dengan memanggul bedil, rasanya aku gagah.
Tetapi sebenarnya perasaan itu muncul bukan karena ada sebuah bedil di pundak,
melainkan karena aku telah begitu yakin mampu hidup tanpa kehadiran bayangan
Emak. Di belakangku Dukuh Paruk diam membisu. Namun segalanya masih utuh di
sana; keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama calung dan
seorang ronggeng.